logo boleh merokok putih 2

Kenaikan Cukai Rokok Membunuh Industri Hasil Tembakau

cukai rokok

Jelang bulan September-Oktober biasanya pabrikan dan petani dirundung perasaan cemas dan gelisah. Sebab ada 2 hal krusial yg muncul di bulan-bulan tersebut, yakni keputusan kebijakan soal tarif cukai rokok dan musim panen tembakau.

Perihal cukai rokok, pada bulan September 2019 pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok di 2020. Untuk besaran masih dirumuskan.

Kami sebagai stakeholder sadar bahwa kenaikan cukai rokok merupakan keniscayaan. Apalagi ketika negara sedang membutuhkan ‘fresh money’ maka cukai rokok akan selalu menjadi lumbung ‘fresh money’ pemerintah.

Gak perlu ribet sampai gelar karpet merah tax amnesty atau lobi-lobi investasi asing, dari cukai rokok 9-11 persen penerimaan negara sudah bisa dikunci. Sistem pungutan cukai disebut dengan istilah “sistem ijon.” Pemerintah bisa menarik pembayaran cukai di depan.

Sialnya besaran angka kenaikan tarif cukai rokok di 2020 sangat besar dan tidak rasional. Pada bulan November pemerintah akhirnya mengetuk palu besaran kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dengan besaran kenaikan HJE (Harga Jual Eceran) sebesar 35 persen.

Bak disambar petir di siang bolong, musim panen tembakau yg harusnya menjadi masa-masa suka cita bagi para petani mendadak dirundung duka. Sebab dengan keputusan pemerintah menyoal cukai rokok ini memberikan efek domino dari hulu hingga hilir Industri Hasil Tembakau.

Ada 3 dampak kerugian yang ditimbulkan dari keputusan ini. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15-20 persen. Saat ini penurunan volume penjualan industri rokok sebesar 7 persen. Padahal tahun-tahun sebelumnya penurunan volume masih berada di angka 2 persen.

Penurunan volume produksi dan omzet ini dikarenakan kenaikan cukai menyebabkan harga jual rokok jadi tidak terjangkau oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi kita stagnan di angka 5 persen, bahkan di prediksi akan turun di angka 3-4 persen. Jika pertumbuhan ekonomi masih ngos-ngosan, mustahil rasanya dapat memompa daya beli masyarakat.

Dampak kedua adalah penurunan permintaan tembakau dari pabrikan ke petani sampai dengan 30 persen, sementara untuk permintaan cengkeh penurunannya sebesar 40 persen.

Dari penurunan omzet otomatis akan berdampak kepada berkurangnya serapan bahan baku oleh pabrikan. Logikanya sederhana: Industri berjalan lesu, produksi akan berkurang.

Dampak ketiga adalah semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kenaikan cukai rokok yang tinggi sudah pasti akan menaikkan peredaran rokok ilegal.

Ketika konsumen dihadapkan pada semakin tidak terjangkaunya harga rokok legal di pasaran, maka mengonsumsi rokok ilegal akan menjadi pilihan. Rokok ilegal akan membanjiri pasar seiring dengan tingginya angka permintaan.

Kekhawatiran akan 3 dampak ini juga dikonfirmasi oleh Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).

Menurut ketua umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan, keputusan Pemerintah menaikan cukai rata-rata 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen, tentu sangat memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Dalam beberapa statement di media, GAPPRI menyampaikan, bila cukai naik 23 persen dan HJE naik persen di tahun 2020 maka industri harus setor cukai dikisaran Rp 185 triliun, mengingat target cukai tahun di 2019 besarannya mencapai Rp 157 triliun, belum termasuk Pajak Rokok 10 persen dan Ppn 9,1 persen dari HJE.

“Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami!,” ujar Henry Najoan.

Entah apa yang sedang merasuki pemerintah saat ini, utamanya menteri keuangan sebagai pengambil keputusan. Tapi satu hal yg pasti: Cukai rokok saat ini dijadikan instrumen bagi agenda pengendalian tembakau sehingga Industri Hasil Tembakau di Indonesia menjadi “Hidup Segan, Mati Dibunuh Perlahan”.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek