logo boleh merokok putih 2

Indonesia Republik Kretek

Di tengah gempuran pasar global yang seakan tak memiliki batas, dengan produk-produk impor yang menjejali negeri ini, juga ekspansi industri-industri besar multinasional yang membangun pabrik-pabrik mereka di Indonesia, apakah masih ada industri skala besar nasional yang masih mampu mengharumkan nama Indonesia sebagai produsen utamanya? Jawabannya ada, namun sedikit.

Satu dari yang sedikit itu, tak lain dan tak bukan adalah industri rokok kretek yang ada di negeri ini. Mulanya, rokok kretek ditemukan secara tak sengaja oleh Haji Djamhari di Kudus pada periode akhir abad 19. Selanjutnya, lewat tangan dingin Nitisemito dengan brand pabrik rokok Tjap Bal Tiga miliknya, rokok kretek kemudian masuk produk skala industri. Perlahan tapi pasti, rokok kretek kemudian berhasil menguasai pasar rokok nasional, mengambil alih besarnya permintaan konsumen rokok yang sebelumnya dikuasai produk rokok putihan.

Bahwasanya pasar industri rokok kretek juga ikut disasar pabrikan-pabrikan multinasional, itu tak bisa dimungkiri karena kue keuntungan dari industri ini memang begitu menjanjikan. Namun, hingga hari ini, industri rokok kretek masih dikuasai oleh pabrikan dalam negeri.

Lebih dari itu, mulai dari bahan baku berupa tembakau dan cengkeh juga dipasok dari sektor perkebunan nasional. Besarnya industri ini, juga menyerap tenaga kerja mendekati enam juta jiwa. Jumlah enam juta jiwa itu meliputi pekerja mulai dari hulu di perkebunan hingga pekerja-pekerja di pabrik-pabrik rokok. Jika ditambah dengan pedagang asongan dan pedagang rokok skala kecil, jumlah enam juta jiwa akan bertambah kian banyak.

Dua bahan baku utama industri kretek, berupa tembakau dan cengkeh, hampir seluruhnya dipasok dari sektor perkebunan nasional. Cengkeh untuk kretek sepenuhnya diambil dari sektor perkebunan nasional. Ini wajar karena Indonesia hingga hari ini menduduki peringkat pertama produsen cengkeh di dunia. Industri kretek menyerap sekitar 94 persen dari produksi cengkeh nasional setiap tahunnya.

Untuk sektor tembakau, memang ada bahan baku yang didapat dari hasil impor. Ini terjadi lebih karena kurangnya produksi tahunan tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri rokok kretek nasional. Padahal sejauh ini Indonesia menduduki peringkat enam penghasil tembakau di dunia.

Tanaman cengkeh mulanya adalah tanaman endemik dari beberapa pulau di Kepulauan Maluku. Selepas berakhirnya monopoli cengkeh yang dilakukan penjajah Belanda, tanaman cengkeh menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia. Tanaman cengkeh selanjutnya dibawa ke luar negeri dan ditanam di beberapa negara dengam kondisi cuaca mirip Indonesia. Yang paling terkenal, cengkeh yang ditanam di Zanzibar, Afrika. Namun begitu, hingga hari ini, Indonesia masih menjadi produsen utama dan terbesar cengkeh di dunia.

Dari sekira 561 ribu hektar luas lahan perkebunan cengkeh nasional, setiap tahunnya produksi cengkeh kering berkisar antara 100 ribu hingga 150 ribu ton. Lebih dari 90 persen produksi cengkeh nasional kemudian diserap oleh industri kretek nasional. Sisanya menjadi komoditas ekspor dengan Arab Saudi, India, dan Sudan menjadi negara tujuan ekspor cengkeh.

Dalam satu tahun, permintaan tembakau dari pabrikan-pabrikan rokok yang ada di Indonesia berkisar antara 300 ribu hingga 350 ribu ton. Sejauh ini, sektor perkebunan tembakau nasional memiliki angka produksi fluktuatif tergantung cuaca, mencapai antara 100 ribu hingga 200 ribu ton. Jumlah itu dihasilkan dari luasan lahan mencapai 250 ribu hektar yang tersebar di 15 provinsi.

Belum selesai sampai di situ. Selain bahan baku dan para pekerja yang membikin geliat industri kretek nasional bergairah, pangsa pasar hasil industri ini juga begitu menjanjikan dalam menjalankan roda ekonomi nasional. Konsumen produk rokok kretek nasional adalah konsumen terbesar di Indonesia. Lebih dari 90 persen pasar rokok nasional dikuasai rokok kretek. Dari sana, negara mendapat keuntungan tak sedikit lewat cukai rokok. Tak kurang setiap tahunnya hasil cukai rokok berada pada angka Rp140 trilyun, setidaknya sepanjang 10 tahun belakangan.

Dari sini, tak bisa dibantah bahwasanya produk kretek bisa dibanggakan oleh negara ini, nasonalisme lewat produk kretek sejatinya bisa dibangun karena produk ini mulai dari hulu hingga hilir digerakkan oleh anak-anak negeri, dan memberikan keuntungan ekonomi yang tak sedikit pada negara. Nasionalisme dalam sebatang kretek.

Bahan baku utamanya diproduksi di dalam negeri oleh petani-petani kita, pekerja di pabrik-pabrik kretek juga orang asli Indonesia, pemilik pabriknya, juga orang Indonesia, lantas yang terakhir, konsumennya juga orang Indonesia, begitulah sejatinya industri nasional yang mesti dibanggakan. Maka, tak salah jika kita mendeklarasikan diri bahwa: Indonesia Republik Kretek.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)