Sekira tiga tahun lalu, saya berkesempatan berkunjung ke pulau Simeulue di provinsi Aceh. Kunjungan saya ke pulau yang terkenal dengan hasil lobsternya ini adalah untuk bertemu dengan petani cengkeh. Selain dikenal dengan hasil lautnya terutama lobster, pulau Simeulue juga dikenal sebagai penghasil cengkeh terbesar di Aceh. Keberadaan cengkeh di Simeulue seusia dengan keberadaan penjajah kolonial di sana yang menginisiasi penanaman cengkeh guna mengembalikan modal perang penjajah kolonial yang mengeluarkan banyak biaya selama perang penaklukan Aceh yang terkenal itu.
Selama penelitian bertemu dengan puluhan petani cengkeh di Simeulue, ada tiga temuan menarik yang saya dapat hasil berbincang-bincang dengan banyak narasumber yang saya jumpai di sana. Dua temuan menarik terkait langsung dengan cengkeh, dan satu temuan lainnya tak ada kaitannya dengan cengkeh, lebih kepada bagaimana penduduk Simeulue berhasil menyelamatkan diri usai gempa besar dan tsunami melanda pulau tersebut pada akhir tahun 2004.
Pada periode 70an, ketika cengkeh kembali berjaya di pasaran dalam negeri, sejalan dengan menggeliatnya industri rokok kretek di Indonesia yang mulai menguasai pasar dalam negeri mengalahkan rokok putih yang sebelumnya menjadi promadona di Indonesia, masyarakat Simeulue kembali menanam cengkeh di perbukitan yang ada di wilayah mereka. Kondisi geografis pulau Simeulue yang berbukit-bukit dan dekat dengan laut memang mirip dengan kondisi geografis tempat pohon cengkeh awalnya berasal. Kondisi ini membikin cengkeh sangat cocok ditanam di pulau Simeulue dan tumbuh subur di sana.
Menyadari potensi cengkeh yang sangat menjanjikan, pada periode 70an, pejabat yang memimpin pulau Simeulue mengeluarkan peraturan yang tidak lazim. Ia mengeluarkan aturan bahwa seorang pemuda yang hendak menikah wajib menanam minimal 25 batang pohon cengkeh sebelum Ia menikah. Jika tidak menanam cengkeh, pemerintah lewat lembaga keagamaan daerah tidak akan menikahkan pemuda tersebut. Kebijakan ini berjalan terus hingga akhirnya bisnis cengkeh hancur berantakan pada periode 90an usai keberadaan BPPC yang diinisasi Orde Baru. Kebijakan yang mewajibkan penanaman pohon cengkeh bagi pemuda yang hendak menikah ini membikin pulau Simeulue hingga saat ini didominasi tanaman cengkeh di luar komoditas lain semisal kemiri, pala, dan sawit yang kini mulai ditanam massal di Simeulue.
Selepas kehancuran komoditas cengkeh usai keberadaan BPPC di periode 90an, cengkeh kembali bangkit usai reformasi bergulir di negeri ini. Meski begitu, komoditas cengkeh di pulau Simeulue terlambat bangkit dibanding di daerah-daerah lainnya yang menghasilkan cengkeh di negeri ini. Hingga tsunami menggulung beberapa wilayah di Aceh, termasuk pulau Simeulue, komoditas cengkeh masih medioker di Simeulue, berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang usaha pertanian cengkehnya kembali bergeliat dengan harga yang sangat menguntungkan.
Adalah Susi Pujiastuti, seorang pengusaha sukses yang pada periode pertama masa kepemimpinan presiden Jokowi menjabat menteri kelautan dan perikanan yang kembali meningkatkan pamor komoditas cengkeh di pulau Simeulue. Ini terjadi pada tahun 2007. Kala itu, belenggu tengkulak di pulau Simeulue membikin harga cengkeh jatuh di pasaran, jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga komoditas ini di wilayah lain di negeri ini. Sebagai perbandingan, harga cengkeh di wilayah lain, pada periode 2000an kembali mencapai titik tertingginya dengan harga beli di tingkat petani mencapai Rp100.000 per kilogram bahkan lebih, sedang di Simeulue, harga cengkeh maksimal berada di titik Rp30.000 saja per kilogramnya, bahkan di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan di pulau Simeulue, harga cengkeh jauh di bawah Rp30.000 per kilogram.
Berdasarkan informasi yang saya dapat dari banyak petani cengkeh di pulau Simeulue, pada 2007, untuk memutus rantai tengkulak, Bu Susi memborong cengkeh di pulau Simeulue dengan harga Rp100.000 per kilogram, mengikuti harga yang ditetapkan di pasar nasional. Rantai jahat tengkulak berhasil diputus. Dan sejak saat itu hingga kini, harga cengkeh di pulau Simeulue mengikuti harga pasar nasional, pertanian cengkeh kembali menggeliat di sana berkat peran nyata Bu Susi. Mulanya saya kurang percaya dengan informasi ini, namun, puluhan petani yang saya temui di Simeulue, juga pejabat di dinas perkebunan di pulau Simeulue, mengamini apa yang dilakukan Bu Susi terhadap komoditas cengkeh di sana.
Kembali bergeliatnya komoditas cengkeh di negeri ini usai diberangusnya BPPC pasca reformasi, tak lepas dari berjayanya industri rokok kretek dalam negeri. Rokok kretek berhasil menguasai lebih 90 persen pasar rokok nasional hingga hari ini. Dengan cengkeh sebagai salah satu bahan baku utama sekaligus bahan baku kunci rokok kretek, cengkeh menjadi komoditas yang menjanjikan dan menguntungkan petani.
Sayangnya, kejayaan petani cengkeh ini terancam dengan keberadaan gerakan antirokok dan kepentingan bisnis global yang berusaha merebut pasar rokok yang begitu menjanjikan di negeri ini. Sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar kedua di dunia di bawah China, Indonesia tentu saja menjadi bidikan serius kapitalisme global di bidang rokok dan farmasi. Merasa gagal bersaing secara sehat dengan produk rokok kretek, mereka kini terus-menerus berusaha menghancurkan keberadaan rokok kretek lewat regulasi yang dibikin semena-mena dan tidak adil dalam wujud Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Salah satu pasal penting dalam FCTC, adalah pengharaman keberadaan cengkeh dalam sebatang rokok yang beredar di pasaran. Jika pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC, dan menerapkannya dalam peraturan usaha rokok di Indonesia, maka mau tidak mau, setiap produksi rokok yang ada di Indonesia tidak boleh mengandung cengkeh secuil pun. Ini artinya, tidak akan ada lagi produk rokok kretek yang diproduksi pabrikan-pabrikan rokok dalam negeri. Kretek hilang, dan komoditas cengkeh kembali menjadi semenjana.
Kondisi menuju peniadaan rokok kretek dan penghancuran pertanian cengkeh lewat ratifikasi FCTC ini sepertinya kian terang di negeri ini. Adalah Sri Mulyani, yang kini menjabat menteri keuangan di Indonesia yang mengambil peran besar dalam usaha peniadaan produk rokok kretek dan penghancuran cengkeh di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, salah satu pemain utama dalam usaha menekan agar pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC adalah Bloomberg Initiatives. Dan Sri Mulyani, ada di dalamnya.
Belum lama ini, di New York, Sri Mulyani juga sudah mengadakan pertemuan intensif dengan Bloomberg. Kado manis dari Sri Mulyani dengan menaikkan cukai rokok besar-besaran di negeri ini sudah diberikan kepada Bloomberg. Jika tidak dihalangi dengan gencar oleh seluruh stakeholder industri rokok di negeri ini, bukan tak mungkin kado istimewa lain dari Sri Mulyani kepada Bloomberg akan kembali diberikan, ratifikasi FCTC oleh pemerintah Indonesia. Rokok kretek mesti hilang dari pasar dalam negeri, dan petani cengkeh kembali merana.