industri tembakau
REVIEW

FCTC Di Pusaran Corona

“Kasih saya alamat-alamat organisasi antikretek itu. Saya akan datangi mereka satu-satu. Dulu negara aja kami lawan. Apalagi ini cuma LSM. Kecil itu,” ujar lelaki itu tak bisa sembunyikan kegeramannya.

Kami menenangkannya, sambil mengingatkan agar tetap bekerja berdasarkan hal-hal yang konstruktif.

Lelaki tua itu pengurus dari serikat petani Cengkeh di Sulawesi Utara. Dulu ia pernah terlibat mengangkat senjata dalam pemberontakan Permesta pimpinan Letkol Ventje Sumual.

Ia marah kepada para aktivis anti kretek yang mengampanyekan anti kretek dan pelaksanaan agenda-agenda internasional seperti FCTC.

Si bapak sadar betul, kampanye anti kretek, pada gilirannya akan mematikan pertanian Cengkeh. Lebih 90% Cengkeh dari seluruh Indonesia, diserap industri kretek.

Saya terkesan dengan kata-kata yang ia gunakan: “dulu negara saja kami lawan…” Ia masih menyimpan memori kolektif tentang pemberontakan Permesta. Seperti gerakan PRRI di Sumatera, kendati kemudian dipadamkan, sebagai memori, pemberontakan-pemberontakan itu masih hidup. Bahkan buat bapak ini, masih menjadi rujukan.

Pertanyaannya: Bagaimanakah membangun dan memelihara ideologi perlawanan?

Buku Mohamad Sobary, Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung, mungkin bisa memberi jawaban. Sobary membuat catatan etnografis tentang bagaimana para petani Tembakau membangun gerakan. Yang pasti sangat jauh berbeda dengan kelompok-kelompok anti Kretek pendukung FCTC.

Dimulai dengan kemungkinan adanya kaitan historis antara gerakan petani dan gerakan Laskar Bambu Runcing, yang legendaris memerangi kolonial di wilayah Karisidenan Kedu dulu. Sampai cerita-cerita dan mitos-mitos yang kemudian membangun ideologi perlawanan, membentuk organisasi, mengkonsolidasikan kekuatan, melakukan upacara-upacara bernuansa perlawanan, dan berdaulat penuh membiayai sendiri ongkos-ongkos perlawanan.

Sobary melihat semua tahapan tersebut begitu puitik. Karenanya perlawanan yang dilakukan para petani tersebut menjadi lebih esensial, katimbang upaya-upaya menggoalkan sebuah traktat atau konvensi yang lebih merupakan agenda orang lain.

Hal-hal itulah, sejarah pengorganisasian perlawanan itulah, yang menjadi penghubung mengapa serikat tani Tembakau Temanggung saat ini tetap berada dalam posisi vis a vis kebijakan yang akan merugikan mereka.

Saya menduga kuat, memori perlawanan itu pula yang ada di benak dan hati bapak eks Permesta di atas.

Selain semua hal tersebut di atas, perlawanan para petani Tembakau dan Cengkeh terhadap agenda-agenda FCTC, bagi para petani itu sendiri adalah soal Hidup dan Mati.

Para petani yang menanam semua bibit di atas tanah, mengurus dan merawatnya, melihat bibit-bibit itu tumbuh besar sampai dipanen, barang tentu, melahirkan sebuah relasi psikologis yang kuat. Ekspresi dari relasi itulah yang melahirkan ritual-ritual bersukur dan berterima kasih para petani.

Semua unsur fundamental itulah yang sedang berada dalam ancaman untuk diberangus oleh FCTC. Petani Tembakau dan Cengkeh mana yang akan tinggal diam menghadapi rencana jahat tersebut?

Sementara mereka yang anti Kretek itu, instansi-instansi internasional itu, punya sejarah perlawanan apa? Di bagian tanah mana tetes-tetes keringat dan air mata mereka jatuh?

Bobot kualitas dan ideologis seperti apa dari sebuah upaya yang disponsori dana internasional, dibanding sikap gigih para petani yang membiayai sendiri semua upaya perlawanan mereka?

Gerakan sosial untuk perubahan sosial masa kini harus belajar dari gerakan perlawanan para petani tersebut. Bukan rahasia banyak gerakan sosial Indonesia mendapat dukungan dari lembaga-lembaga internasional. Itu sebab gerakan sosial di sini, belum melahirkan perubahan signifikan dan mendasar. Karena semua agendanya sering berada di wilayah oportunis, tarik menarik kepentingan, dan tawar menawar “stick and carrot.”

Yang terjadi kemudian adalah fragmentasi aktor-aktor perubahan, menjadi ambyar. Lemah tak bergigi tak bertenaga. Situasi seperti itulah yang diinginkan para freemarketeers. Pasarlah yang kemudian akan berkuasa, di saat para aktor perubahan loyo kehilangan arah.

Virus Corona secara medis bisa dicegah dan dibuat tak meluas, dengan cara yang nisbi bisa ditangani. Sementara virus FCTC akan menghentikan kehidupan jutaan manusia dalam jangka waktu yang lama, bergenerasi.

Ranu Pane, 04/03/20