OPINI

Kretek, Ditemukan Haji Djamhari Dibunuh FCTC

Selain Haji Djamhari dan Notisemito ada satu perempuan dibalik terciptanya dan melambungnya kretek sebagai produk tembakau yang mempunyai nilai keekonomian. Beliau adalah Nasilah. Berawal dari kejengahan Mbok Nasilah atas kebiasaan nginang para kusir andong dan pedagang keliling yang mampir ke warungnya. Kebiasaan nginang para kusir dan pedagang meninggalkan ampas dan ‘dubang’ yang membuat warungnya kotor. Haji Djamhari menciptakan kretek karena alasan pengobatan sedang Nasilah menciptakannya atas kesadaran higenitas modern.

Nitisemito yang bekerja sebagai kusir andong seringkali mampir ke warung Nasilah. Seperti kisah cinta klasik pada umumnya dan membenarkan ungkapan “witing tresno jalaran soko kulina” Nasilah akhirnya diperistri oleh Nitisemito pada tahun 1894. Sejak saat itu produk kretek Nitisemito dan Nasilah merajai pasar dengan merk dagang “Tjap Bal Tiga”.

Pada tahun 2009 disahkan sebuah Undang-Undang dimana salah satu pasalnya menggolongkan tembakau sebagai zat adiktif. Peraturan yang berwujud UU itu memerlukan satu peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri agar bisa dilaksanakan untuk mengendalikan konsumsi dan peredaran produk tembakau. Sangat disangyangkan dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut pasal-pasal yang terkandung didalamnya bertujuan untuk mematikan industri tembakau dari hulu ke hilir.

Kretek sebagai produk tembakau khas Indonesia dan satu-satunya didunia adalah produk yang paling disasar untuk dimatikan. Kretek merajai pasar dalam negeri sejak era Nitisemito hingha kini. Meskipun pada saat era revolusi dan perang kemerdekaan produk kretek belum seperti sekarang tapi kekhasan itu tidak pernah hilang. Tentu saja RPP sebagai peraturan pelaksaan pengendalian tembakau di Indonesia mengacu kepada induk peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia, yaitu FCTC. Siti Fadhilah Supari, mantan Menteri Kesehatan yang mengalami masa-masa awal FCTC pada tahun 2012 mengatakan “Saya tidak pernah mau menandatangani perjanjian itu, karena menurut saya kretek kita akan mati jika peraturan itu saya tanda tangani”.

Pertanyaannya apakah FCTC berkaitan dengan kretek? Oke sebelum itu mari kita telaah dulu apa itu Kretek? Menurut kaidah yang tertera dalam SNI Kretek adalah campuran tembakau rajangan, krosok rajang, cengkeh rajang dan tambahan bahan-bahan perisa, yang menghasilkan campuran beraroma khas, dilinting dengan berbagai bahan pembungkus (ambri/papir/tipping) dan pendukung (lem) dengan atau tanpa filter. Jadi tanpa bahan selain tembakau sudah jelas tidak bisa disebut kretek.

Dengan pengertian apa yang disebut kretek menurut salah satu kaidah tersebut maka dalam hal ini kita perlu menelisik pasal 9 dan 10 FCTC guna melihat bagaimana kretek dimatikan melalui FCTC. Pasal 9 dan 10 mengatur tentang kandungan (ingredient) rokok yang mengarah pada standardisasi kandungan rokok. Pengaturan ini telah disokong oleh para anggota FCTC dalam pertemuan anggota atau Conference of Parties (CoP) ke-4 di Uruguay tahun 2010. CoP telah merekomendasikan mengurangi daya tarik rokok atas bahan tambahan dan aroma.

Meskipun pasal-pasal dalam FCTC tidak pernah berubah namun dalam CoP mereka selalu memperbarui atau mengubah ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya dan menuangkan kesepakatan itu sebagai “Guidelines” yang harus diikuti oleh negara-negara yang telah meratifikasi FCTC. Dengan alasan tersebut sudah cukup bagi seluruh pemangku kepentingan industri hasil tembakau di Indonesia untuk menolak FCTC.

Beberapa negara seperti Brazil pada 2012 telah menerapkan larangan rokok beraroma beredar di negaranya. Demikian juga negara-negara di Uni Eropa, yang menerapkan larangan rokok dengan flavor, perasa dan aroma dalam “Tobacco Directive 2001/37/EC” pada 2013. Harus diakui kretek adalah produk tembakau yang telah menjadi tradisi dan terus menghidupi hingga kini. Sayangnya akan dimatikan hanya atas kepentingan monopoli, entah itu oleh mereka yang berasal dari luar negeri ataupun oleh saudara kita sendiri.