logo boleh merokok putih 2

Menilik Ancaman Nyata Jika FCTC Diratifikasi Pemerintah Indonesia

Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan Komang Wawan, petani cengkeh di Banjar Tibudalem, Desa Pujungan, Bali, via sambungan telpon. Saya mengenal Komang ketika melakukan riset cengkeh di desanya tiga tahun lalu. Perbincangan kami, tentang ancaman FCTC yang mengintai petani.

Komang Wawan kini berusia 27 tahun. Sejak lulus SMA, ia memutuskan fokus menjadi petani. Cengkeh dan kopi jadi komoditas utama yang ia tanam di lahan miliknya, warisan dari orang tua. Komang menjadi anomali di saat banyak anak muda enggan jadi petani.

Selain Komang Wawan, ada banyak petani muda di Banjar Tibudalem. Tiga tahun lalu, dari 15 orang petani yang menjadi narasumber dalam riset cengkeh yang saya lakukan, hanya tiga orang yang usianya lebih tua dari saya, itupun masih kepala tiga. Mereka semua menanam cengkeh dan kopi.

Dari para petani muda di Banjar Tibudalem ini, saya membongkar stigma yang ada di kepala bahwa profesi petani itu adalah profesi yang tidak menjanjikan, dekat dengam kemiskinan, dan stigma bahwa para petani kurang berpendidikan. Mereka petani yang sejahtera, dan terdidik tentu saja.

Dalam perbincangan via telpon dengan Komang Wawan, ia bertanya seberapa besar ancaman FCTC bagi nasib pertanian cengkeh di desanya, dan di negeri ini. Ia juga mengabarkan hasil panen cengkeh tahun lalu dan prediksi hasil cengkeh tahun ini.

Saya menjelaskan pasal 9&10 FCTC, isinya menutup rapat peluang cengkeh jadi bahan baku dalam sebatang rokok yang diproduksi.

“Kalau FCTC berlaku di Indonesia, cengkeh nggak akan dibeli pabrik rokok lagi. Lebih 90 persen hasil cengkeh nasional terbengkalai.” Ujar saya menjelaskan.

Komang Wawan terdiam lama usai mendengar jawaban saya perihal ancaman FCTC bagi pertanian cengkeh nasional. Ia lantas berujar, “Kenapa ada benda sejahat itu! Semoga benda jahat itu (FCTC) nggak masuk di Indonesia.”

Saya kemudian balik bertanya, “Jika FCTC jadi diratifikasi pemerintah Indonesia, apa yang akan terjadi di Banjar Tibudalem?”

Komang menjelaskan panjang lebar menjawab pertanyaan itu. Aspek ekonomi, sosial, dan pertanian ia jelaskan.

Ada 70 KK di Banjar Tibudalem. Seluruhnya, petani dan buruh tani, terutama untuk komoditas cengkeh. Jika cengkeh diberangus lewat skema FCTC, 70 KK itu akan goyah perekonomiannya. Di luar 70 KK itu, ada ratusan orang dari luar banjar, terutama dari Karangasem yang menggantungkan diri dari pertanian cengkeh sebagai buruh panen ketika musim panen tiba. Ancaman FCTC begitu nyata bagi keuangan keluarga mereka.

Para pendatang dari Karangasem di musim panen, datang dari wilayah yang tandus. Sehari-hari mereka kerja serabutan, sebagai buruh tani, pekerja proyek pembangunan, atau masuk ke sektor pariwisata sebagai tenaga kasar di sana.

Ketika musim panen cengkeh tiba, mereka datang berbondong-bondong ke wilayah Kabupaten Buleleng dan Tabanan, termasuk ke banjar tempat Komang Wawan tinggal. Mereka bekerja sebagai tenaga pemetik cengkeh dengan upah menggunakan sistem bagi hasil, separuh untuk pekerja pemetik, separuh untuk pemilik kebun. Dari hasil itu, mereka bisa menabung untuk bekal hidup keluarga hingga musim panen cengkeh selanjutnya tiba.

Di wilayah perkebunan cengkeh di Bali Utara, saat musim panen, ribuan buruh panen cengkeh memang berdatangan dari banyak tempat, Karangasem paling banyak, lainnya datang dari Jawa Timur semisal Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, Sidoarjo dan Banyuwangi.

Jika FCTC berlaku di negeri ini, nasib ribuan buruh panen cengkeh yang menggantungkan setahun hidupnya dari upah bagi hasil panen cengkeh akan hancur berantakan. Di sini, ancaman FCTC begitu nyata terlihat.

Dari sektor sosial, jika FCTC diberlakukan, para petani di Banjar Tibudalem akan mengalami goncangan. Semangat mereka dalam bertani musnah karena komoditas yang tak berharga lagi. Semangat bertani hilang, konstruksi sosial berantakan.

Menurut Komang Wawan, perkebunan cengkeh akan dipenuhi api dan asap. Pembakaran akan terjadi sebagai simbolisasi kematian cengkeh di negeri ini. Pohon-pohon cengkeh akan dibakar karena secara ekonomi sudah mati, tak berharga lagi.

Sudah barang tentu kondisi sosial masyarakat dan tatanan sosial yang sudah terbangun dalam lingkungan pertanian cengkeh akan rusak berantakan karena ancaman FCTC ini. Jadi, bukan hanya perekonomian petani yang rusak, tatanan sosial juga akan rusak.

Selain itu, dengan keberadaan FCTC dan berantakannya pertanian cengkeh di Banjar Tibudalem, antusias kaum muda desa untuk bertani akan hilang karena komoditas utama yang mereka tanam tak lagi laku di pasaran. Angka pengangguran akan meningkat drastis.

Ini satu contoh kasus dari Banjar Tibudalem, Desa Pujungan, Tabanan, Bali. Di tempat lain, ancaman FCTC mirip, menghancurkan perekonomian petani cengkeh, merusak tatanan sosial yang sudah dikonstruksi lewat pertanian cengkeh, dan menghancurkan pertanian cengkeh andalan desa.

Jadi, tak ada kata lain yang mesti terus didengungkan oleh kita semua yang peduli akan negeri ini, kemandirian petani dan kedaulatan petani, selain berusaha untuk ikut menolak ratifikasi FCTC oleh pemerintah. Karena ini adalah ancaman yang nyata bagi kedaulatan bangsa.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)