Saya suka bersua dan ngobrol dengan orang-orang tua. Orang-orang yang telah sepuh dari segi usia. Selain untuk memuliakan mereka, sebagai peminat sejarah dan budaya, saya suka mendengar cerita-cerita dan kesaksian-kesaksian mereka tentang kampung yang saya tinggali dan perubahannya.
Di kampung tempat saya tinggal sekarang, orang paling sepuh mungkin Mbah Projo, demikian kami memanggil. Darinya saya mendapat banyak cerita tentang kampung yang saya diami ini.
Saya mengira Mbah Projo merupakan salah satu keluarga ‘asli’ kampung ini. Dugaan ini saya bangun selain dari lokasi rumahnya, yang terpisah dari sejumlah rumah ‘pendatang’, juga karena ia memiliki ikatan kekerabatan dengan banyak keluarga di kampung ini yang dipandang sebagai penduduk ‘asli’.
Tetapi ternyata, menurut Mbah Projo, tidak. Mereka juga pendatang di kampung ini. Lho, bagaimana sejarahnya? Lalu mbah Projo cerita bahwa mereka dulu berasal dari utara, tepatnya Maguwoharjo. Waktu itu, kampung mereka dekat sekali dengan Lapangan Udara Maguwo, yang menjadi situs peperangan antara tentara Indonesia dan Belanda pada perang mempertahankan kemerdekaan. Mereka pindah ke daerah agak selatan, kampung kami sekarang ini, yang kalau ditarik garis lurus mungkin jaraknya 4-5 km. Perpindahan itu dilakukan untuk mengamankan diri Dan keluarga.
Jika cerita Mbah Projo benar maka peristiwa pindahnya mereka itu mungkin terjadi antara tahun 1947 -1949, saat agresi Belanda I dan II. Pada Agresi Belanda I, sejarah mencatat pesawat yang ditumpangi 9 orang, di antaranya Adi Sucipto, Abdurrahman Saleh, dan Adi Sumarmo, ditembak jatuh oleh pesawat Belanda ketika berputar-putar di udara Yogya menjelang pendaratan di bandara Maguwo, yang sekarang ganti nama jadi Adi Sucipto. Ya kira-kira kurang lebih tahun-tahun itulah.
Nah waktu itu mbah Projo usia berapa? Embuh, yang jelas saya masih kecil, tapi saya masih ingat jalan kaki dari Maguwo sana ke sini, jawab Mbah Projo. Sebagaimana umumnya orang desa, Mbah Projo betul-betul tak mengingat dan tak punya dokumen, kapan ia lahir. Tapi kalau kita boleh menaksir, jika saat itu usianya 5 tahunan saja, maka sekarang usianya 79 tahun.
Mbah Projo, dengan demikian, merupakan salah satu, kalau bukan satu-satunya orang tertua di RT saya.
Kulitnya hitam, rambut putih, dan gigi hampir tanggal semua. Sudah sepuh, tapi masih kuat saja. Hingga sekarang masih menggarap sawah, baik warisan keluarga maupun milik orang. Luasan sawah di kampung kami terus merosot, dan petani juga semakin langka. Mbah Projo sedikit yang tersisa.
Tapi dia sehat dan kuat. Ingatan masih jernih. Kemana-mana naik sepeda dan ini yang menarik: tetap dan terus merokok. Rokoknya kretek melinting sendiri, tapi kalau ada duit dia akan beli Djarum 76 atau Bintang Buana Kretek atau kretek-kretek yang lain. Saya pernah nanya sejak kapan udud? Sejak kecil, umur 10an tahun. Berarti sudah hampir tujuh dekade ia merokok. Bajigur tenan.
Kalau mau ke sawah, mbah Projo sering lewat depan rumah saya. Demikian juga kalau mau ke kandang sapi. Oh ya, dia juga memelihara dua ekor sapi milik orang. Kami selalu bersapaan dan saya kerap mengajaknya mampir, tapi dia menjawab: ke sawah dulu. Hanya sesekali ia berkenan dan dari sana ia banyak cerita kehidupannya. Misal bahwa di masa muda ia pernah merantau ke Lampung dan ke Jakarta bekerja sebagai buruh bangunan. Bahwa perumahan yang baru dibuka di RT kami, yang jumlahnya 20an buah, itu dulu rumah milik mantan carik. Duh sugih tenan, dan ia kemudian menyebut anak-cucu carik yang masih tinggal di sekitaran kampung kami.
Kalau malam dia kerap keluar, terutama untuk kepentingan menengok aliran air sawahnya. Naik sepeda, pakai sarung dan uniknya sering tak berjaket. Ampuh betul mbah Projo ini.
Kalau pas kami sedang giliran jaga malam, kami sering menawarinya untuk mampir cangkrukan sambil menikmati wedang dan cemilan. Sekali-sekali ia mau mampir. Tapi ketika melihat cemilannya kacang goreng sangrai dan kripik singkong, ia tampak kecewa sekali. “Wow gak bisa mengunyah, sudah gak punya gigi,” katanya. Saya merasa bersalah waktu itu. Tapi kemudian saya menawarinya rokok kretek. “Wis udud wae,” sambungnya dengan perasaan gembira. Lebih-lebih setelah kuminta dia bawa saja pulang rokok sisanya.
Terus terang Mbah Projo menjadi salah satu rujukan kami ketika ada debat di kampung untuk menolak atau mendukung anggapan rokok bisa bikin tidak sehat dan mengakibatkan kematian. Tentu saja eksistensi mbah Projo semacam kartu AS bagi penolak. Mbah Projo nyatanya gak mati-mati, padahal merokoknya gak henti-henti. Bahkan bisa dikata ia sehat sekali. Saya jarang mendengar kabar dia sakit. Berbeda dengan orang-orang yang lebih muda dari dia, yang bolak-balik sakit, dan bahkan meninggal, padahal ya tidak merokok. Sebaliknya, bagi yang antirokok atau antitembakau, dia hanya pengecualiaan belaka. Pengecualiaan kok banyak. Hehehe…
Saya jadi ingat terbitan buku teman-teman KNPK berjudul “Mereka Yang Melampaui Waktu” yang berisi kisah hidup beberapa orang di atas usia 70an tahun, yang tetap sehat, kuat, dan tetap dan terus merokok. Mbah Projo adalah orang yang juga melampaui waktu.
Jelas dari pengalaman mereka, juga mbah Projo, rokok sama sekali bukan faktor negatif. Faktor utamanya tetap gaya hidup. Pikiran tidak neko-neko, kerja fisik yang menggantikan olahraga rutin, dan makan sehat apa adanya, serta santai di pikiran dan tindakan.
Anda bisa saja tidak merokok, tapi klo gak pernah olahraga, makan apa saja yang ada di atas meja, dan berpikir berat dan gampang stress, ya penyakit apapun bisa dengan mudah mampir.
Kalau merokok? Ya sama saja, kalau gaya hidup ambyar dan amburadul, penyakit juga akan jadi teman akrab.
Jadi rokok bukanlah faktor utama, sehat atau tidak sehat. Yang utama gaya hidup. Mungkin bukan kebetulan, seperti mbah Projo, figur-figur dalam buku “Yang Melampaui Waktu” adalah orang-orang biasa, yang tak neko-neko dan santai. Dan kurang ajarnya, udud itu justru bagian dari hidup santai dan rekreatif. Hal inilah yang saya lihat dalam kehidupan orang seperti Mbah Projo.
Saya ingat lagi mBah Projo ketika dalam pertemuan RT dia duduk agak menjauh karena tidak ingin aroma kretek lintingannya mengganggu orang lain. Ia merdeka dan bebas. Rupanya Mbah Projo cukup tahu diri soal itu.
Mari berguru kepada Mbah Projo!
Hairus Salim, 13 Maret 2020 catatan seusai rapat rt