OPINI

Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau

Industri Hasil Tembakau (IHT) terkenal sebagai industri dalam negeri yang tahan terhadap krisis. Klaim ini telah diuji sejak era kolonialisme hingga krisis ekonomi global pada tahun 2008, IHT masih tetap kokoh berdiri melewati krisis yang terjadi. Namun, tampaknya sektor IHT harus waspada dengan hantaman krisis saat ini yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.

Banyak pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 akan berbeda dengan krisis ekonomi lainnya, baik secara global maupun domestik. Indonesia sudah beberapa kali mengalami krisis ekonomi, juga pernah menghadapi tantangan krisis ekonomi global pada tahun 2008. Dalam melewati periode krisis tersebut, menurut para ekonom Indonesia berhasil bertahan dari krisis dan memulihkan ekonominya karena sektor UMKM menjadi penopang utama ekonomi.

IHT memiliki peranan penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan kontribusinya dalam menghidupi pedagang asongan, warung kelontong, hingga retail. UMKM sendiri memberikan kontribusi terhadap 60% PDB dan penyerapan tenaga kerja sampai 97%.

Tetapi berbeda hal dengan krisis yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 ini, sektor yang justru terpukul di awal adalah sektor UMKM. Merebaknya Covid-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial antar masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas dan interaksi masyarakat di luar rumah. Alhasil banyak usaha seperti warung makan, tempat hiburan, jasa transportasi, dan lainnya tutup sementara, bahkan sudah banyak yang memilih gulung tikar.

Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.

Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk.

Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.

Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.

Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.

IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.