Cerbung

Gadis Negeri Tembakau bag.1

Pada suatu malam Minggu yang masih seperti biasanya, Srintil Sumiyati atau Mimi -namanya saat ini-, tergolek lemah dengan pikiran entah ke mana. Badannya berada pada kasur yang berserakan, penuh sketsa dan tulisan, pikirannya melayang jauh ke rumahnya di Temanggung, sedang hatinya sudah mati, entah sejak kapan.

Dinyalakannya rokok yang sedari tadi ia pegang di tangan kanan, diraihnya korek yang berada tak jauh dari jangkauan tangannya. Dihisaplah dalam-dalam rokok tersebut. Ia hembuskan hingga asapnya memenuhi kamar seukuran 3×4 meter bercat putih itu.

Masih jelas dalam ingatannya pesan pesan mbok Tin, Ibunya agar ia tak pernah sekalipun melanggar adat, meski mbok Tin sendiri selalu saja membantu Srintil untuk memenuhi hak-haknya. Pesan Mbok Tin kepada Srintil adalah meskipun ia seorang perempuan, ia tak boleh diam saja ketika haknya tidak terpenuhi. Berbeda dengan Pak Tejo -Sang Ayah- yang kerap melayangkan pukulan bahkan kata-kata kasar kepada Srintil sehingga membuatnya enggan kembali pulang ke kota asalnya sejak 8 tahun lalu.

Srintil sebenarnya begitu menyayangi ayahnya, bahkan ia tak pernah sekalipun berani melawan apapun yang diinginkan sang Ayah. Namun karena sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan 9 tahun silam, Srintil menjadi amat benci pada semua lelaki, tak terkecuali ayahnya sendiri. Tak ada sedikitpun hal yang membuat ia tertarik, senang bahkan jatuh cinta pada lelaki.

Tak ada satu ingatannya tentang lelaki, Hanya rokok dan kepulan asaplah yang selalu mengingatkan ia pada aroma ayahnya. Aroma yang saat ia kecil menjadi aroma yang selalu Srintil rindukan kapan saja. Aroma yang tertinggal pada baju, sarung, bahkan peci yang kerap ayah Srintil kenakan. Aroma yang selalu ingin Srintil ingat dan lupakan dalam waktu yang bersamaan. Semakin ia menghisap rokok, semakin sesak namun semakin lega pula yang ia rasakan dalam dada. Ada kesedihan dan adapula kebebasan yang ia rasakan melalui hembusan asap yang ia ciptakan dari rokok yang ia hisap.

“Ah, Bapak, kenapa engkau begitu kejam?” Srintil meneteskan air mata entah untuk yang keberapa ribu kalinya sejak ia kabur meninggalkan rumah.

“Sarapan belum, nduk?” Sebuah pesan masuk pagi ini, tertera pukul 09.00 WIB hari Jumat namun belum sempat ku balas dan baru aku pukul 02.00 WIB di hari setelahnya.

“Jangan lupa makan ya, Nduk. Ibuk kangen”. Sebuah pesan masuk lagi dari seseorang yang sama. Hampir saja ku balas pesan itu dengan kata “Sri juga kangen Ibuk, kangen Bapak” tapi kuurungkan dengan hanya menjawab “Iya, Buk”. Setelah kukirim pesan tersebut, segera kumatikan ponselku. Berharap tak seorangpun mengganggu hariku, termasuk Ibu.

Bukan. Bukan aku membencinya. Aku justru membenci diriku sendiri, karena setiap ibu bilang kangen, aku tak bisa menguasai diri. Sebenarnya aku bisa saja segera pulang. Jika aku mau, aku tak perlu cuti, toh pekerjaanku tidak terikat kantor dan bisa ku kerjakan dimana saja. Lagian tak butuh waktu lama untuk menempuh perjalanan Yogyakarta-Temanggung. Hanya kurang lebih 2 jam. 

Namun aku bertekad, jika aku dan ayah belum berubah. Aku tidak akan pernah pulang. Aku berubah menjadi lebih baik. Mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Dan ayah berubah tak lagi menganggapkan anak kecil dengan memaksakan kehendaknya kepadaku. 

Seminggu berselang setelah pesan ibu. Karena hari itu aku libur. Aku hidupkan lagi ponselku. Siapa tahu ada kabar penting dari rekan kerjaku. Benar aja ada belasan pesan dan panggilan. Salah satunya, tentu saja, dari Ibu.

Segera aku telfon Ibu. Ibu bukanlah tipe orang yang sering menelepon jika memang tidak dalam keadaan genting. 

“Halo, maaf buk aku baru sempat menelepon Ibuk. Ada apa buk? Kok sampe telfon berkali-kali?” Aku berbicara panjang lebar tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu bahkan tanpa sempat memastikan apakah yang menerima telfonku benar-benar Ibu. 

“Ayah sakit. Seminggu lalu masuk ICU. Sempat juga menanyakan bagaimana kabarmu.” Ibu menjawab teleponku, ya seperti biasa dengan penuh ketegaran. Terlihat dari nada bicaranya yang tidak menyiratkan kesedihan sama sekali. 

“Oh, ya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”

“Masih di RS, tapi 2 hari lagi boleh pulang, asal tetap rawat jalan.”

“Memang ayah sakit apa?”

“Setelah mendapat telepon dari Mandor Isa, ayah terjatuh bersamaan ponselnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Bahkan ibu belum sempat bertanya pada ayahmu sampai hari ini”. Kata Ibuku.

“Halah, apalagi kalau bukan ancaman dan bualan.” batinku

“Yasudah Bu. Kabari aku jika ibu memerlukan sesuatu. Maaf aku belum bisa pulang karena masih ada pekerjaan.” Aku menutup ponsel setelah mengucap salam pada ibu.

Lagi-lagi pekerjaan jadi satu-satunya alasan agar aku bisa untuk tidak pulang. Padahal aku hanya malas membuang waktu bertengkar dengan ayah karena persoalan yang itu-itu saja. 

###

Di hari yang sama, setelah percakapanku dengan ibu, aku bertemu dengan Adam di sebuah kedai kopi langganan kami. Aku mengiyakan setiap dia mengajakku bertemu, selain dekat secara perkawanan, kami juga sering terlibat dalam sebuah pekerjaan. Biasanya kami hanya mengobrol tentang kejadian-kejadian di sekitar kami, tentang isu-isu hangat yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat. Wajahnya selalu ceria, sedikit berubah menjadi jahil saat menggodaku, dan mendadak menjadi seperti setan kala aku berbalik menggodanya.

Pertemanan kami terjalin hampir 3 tahun, saat kami sama sama menjadi lulusan sebuah perguruan tinggi negeri di sini, meski sebelumnya kami tidak saling mengenal satu sama lain. Kursi duduknya berada di sebelahku saat prosesi wisuda. Tiba-tiba dia membuka percakapan. Setelah meminta nomor WhatsAppku, kami pun intens berbalas pesan dan beberapa kali bertemu. Pertemanan kami berlanjut saat aku tahu dia memiliki sebuah media binaan dan kebetulan sedang membutuhkan satu orang untuk menjadi bagian content writer.

Beberapa kali ia membaca tulisanku, ia mengajakku untuk bergabung, meski dengan imbuhan aku tak mengharapkan banyak uang dari bekerja dengannya. Seperti yang sudah-sudah. Aku katakan juga padanya bahwa aku tak pernah berharap menjadi kaya dengan menulis. Upah dari menulis memang menolongku. Membantuku bertahan hidup. Namun lebih dari itu. Menulis membuatku bisa dengan bebas mengutarakan hak tanpa memaksa orang lain untuk mendengarnya. Ohya maaf lupa. Harusnya aku menceritakan tentang Adam bukan diriku. 

Ada yang berbeda malam ini. Adam tak lagi berbasa-basi. Ia langsung menyatakan apa yang terjadi padanya sekaligus berpamitan dan meminta maaf karena harus meninggalkanku dalam waktu yang tidak sebentar. Adam akan pergi ke Jepang, salah satu relasi ayahnya meminta ia untuk membantu dalam mengembangkan sebuah media di Jepang. Jepang adalah kota impian Adam, bahkan semua orang. Apalagi Adam akan bisa membeli gundam orisinil tanpa harus membayar ongkos kirim yang harganya hampir separuh dengan harga gundamnya sendiri. Kecintaannya pada gundam mengalahkan kecintaanya pada apapun termasuk mantan-mantan kekasihnya. Ia rela menghabiskan sebagian gajinya untuk membeli mainan itu. 

Sebenarnya aku tak masalah jika Adam pergi. Aku tak memiliki perasaan apapun padanya. Bahkan, jika ia tak akan kembali sekalipun. Yang menyebalkan dari kepergiannya itu adalah ia memberikan tanggung jawab media yang ia pimpin kepadaku. Itu adalah media pertama yang ia bangun sendiri dari nol. Meski ia bisa mengontrolnya dari mana saja namun ia akan kesulitan berkoordinasi dengan orang-orang di dalamnya yang seluruhnya berada di Indonesia. Belum lagi jika suatu saat ia akan sibuk. Lagi pula seseorang yang bekerja pada lebih 1 media ditakutkan akan mengalami konflik kepentingan baik internal maupun external. 

Setelah kepergian Adam yang semena-mena itu aku mulai sibuk dengan pekerjaan- pekerjaan ku di media sebagai pemimpin. Aku semakin banyak menulis karena rubrik yang aku tanggungjawabi juga semakin banyak. Karena kesibukanku itu, aku sedikit bisa mengobati sepi karena kerinduanku pada ibu. Meski kadang pikiran-pikiran tentang keluargaku masih saja menghantui.

###

Satu bulan setelah kepergian Adam, Kami mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan rokok lokal untuk mempromosikan produknya. Sasarannya adalah kalangan menengah ke bawah dan tentu saja orang-orang di desa. Mereka meminta beberapa nama daerah untuk disuplai beberapa produk sebagai media promosi. Aku, Ina, Tedi dan Ridwan membuat sebuah tim untuk ekpedisi. Dipilihlah beberapa kota diantaranya Temanggung, Jember, Kudus, dan Tasikmalaya sebagai wilayah ujicoba 1. 

Kuamati dalam-dalam bungkus rokok tersebut sambil kupikirkan ide apalagi yang akan kami kembangkan sebelum proposal kami serahkan. 

Kretek ..

Ah, tidak! Kepalaku sakit. Mendadak pikiranku melayang jauh. Jauh entah kemana. 

Mungkin aku memang harus pulang.

Bersambung ..