Entah apa yang ada di dalam pikiran Ian Mackaye, pentolan band hardcore punk asal Amerika, Minor Threat pada saat itu. Dirinya membuat lagu dengan durasi hanya sepanjang 46 detik yang suatu saat akan menjadi satu subkultur baru yang mendunia di kalangan skena musik hardcore dan punk. Lagu tersebut berjudul ‘Straight Edge’ yang masuk dalam album pertama Minor Threat yang dirilis pada 1981 silam. Seperti banyak kejadian hebat dalam sejarah bermula dari hal-hal sederhana, Ian Mackaye telah mewarnai peradaban manusia dengan sebuah lagu berdurasi sangat singkat.
Lahirlah sebuah subkultur straight edge dari lagu berdurasi 46 detik tersebut. Mengutip apa yang ditulis oleh Ken Gelder dalam bukunya berjudul ‘The Subculture Reader’ , subkultur merupakan sekelompok orang yang terepresentasi sebagai kelompok yang tidak normatif (secara umum) dan atau marjinal dalam kepentingan dan praktek mereka, melalui siapa diri mereka, apa yang mereka lakukan, dan dimana mereka melakukannya. Dalam hal ini straight edge menentang budaya dominan dalam skena musik hardcore dan punk dalam hal konsumsi terhadap narkoba, alkohol, rokok, serta perilaku seks bebas. Straight edge melalui apa yang ada dalam pikiran Ian Mackaye saat itu mencoba untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat luas jika orang-orang yang terlibat dalam skena hardcore dan punk tak selamanya berperilaku seperti sid vicious. Kita sama-sama mengetahui bahwa Sid Vicious dianggap sebagai seorang yang paripurna dalam menjalani kehidupan punk, mengkonsumsi narkoba, rokok, alkohol, dan perilaku seks bebas. Bahkan karena perilaku mengkonsumsi narkoba, Sid Vicious harus meninggal karena overdosis heroin.
Ibarat sebuah kitab suci dalam keyakinan agama, para penganut straight edge menjalani hidup pantangan pada narkoba, alkohol, rokok dan perilaku seks bebas mengacu pada lirik lagu minor threat berjudul “out of step”: I don’t smoke, i don’t drink, iI don’t fuck, at least I can fucking think. Lirik ini kemudian yang menjadi fondasi dari dasar dan juga falsafah subkultur straight edge. Pernyataan Ian Mackaye dalam lirik lagu Straight Edge yaitu: I’m a person just like you but I’ve got better things to do, than sit around and fuck my head hang out with the living dead snort white shit up my nose pass out at the shows. I don’t even think about speed, that’s just something I don’t need. I’ve got the Straight Edge! menjadi satu penasbihan bahwa subkultur ini telah lahir. Ross Haenfler dalam jurnal yang ia tulis berjudul ‘Collective Identity in The Straight Edge Movement: How Diffuse Movements Foster Commitment, Encourage Individualized Participation and Promote Cultural Change’ menyebutkan bahwa straight edge yang berkembang dari ‘sekadar’ personal beliefs menjadi sebuah gerakan menyebabkan tumbuhnya gerakan-gerakan ini di luar Amerika.
Indonesia juga menjadi salah satu daerah di mana subkultur straight edge muncul, tumbuh, dan berkembang. Tulisan Gofar Hilman di lawlessjakarta.com berjudul ‘Straight Edge: Good or Too Much?’ menjabarkan fenomena tersebut. Dituliskan bahwa ideologi straight edge dimulai pada awal tahun 90an, dimana band-band Straight Edge bermunculan seperti Straight Answer, Thinking Straight (Jakarta), Blind To See (Bandung) dan Violent Order (Malang). Pengaplikasian Straight Edge di Indonesia menurut Gofar Hilman sedikit banyaknya dipengaruhi oleh faktor agama yang kental akan pelarangan serupa dan dikembalikan lagi pada kontrol individu masing-masing.
Bisakah Perokok Menjadi Bagian Di dalamnya?
Tentu agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini mengingat pijakan dasar subkultur straight edge yang disampaikan oleh Ian Mackaye dalam lagu ‘Out of Step’. Saya pribadi sangat mengagumi Minor Threat dan spirit dalam subkultur straight edge. Banyak yang berpendapat kalau spirit ini menjadi kontrol dalam diri untuk menjaga tubuh dari hal-hal yang buruk. Ketika saya tahu bahwa rokok menjadi salah satu pantangan bagi para penganut straight edge di sinilah pertentang dalam diri saya dimulai. Saya pribadi tidak mengkonsumsi alkohol dan narkoba, begitu juga dengan perilaku seks bebas, tapi soal rokok saya punya pandangan lain. Tidak sepenuhnya saya sepemahaman tentang Ian Mackaye.
Saya tidak sepakat jika merokok dikaitkan dengan perilaku urakan seperti yang digambarkan oleh Ian Mackaye terhadap pola hidup dominan orang-orang yang menggeluti dunia punk. Bagi saya merokok juga punya spirit yang besar, yang bisa dikatakan bukan hanya sekadar mengkonsumsi tembakau. Indonesia memiliki kretek yang pertama kali ditemukan oleh Haji Djamhari yang justru punya niatan yang mulia, menyembuhkan dirinya sendiri dari asma. Jika ini terkait spirit melawan kapitalisme, mengingat straight edge juga memiliki semangat itu, maka merokok dengan pola melinting sendiri pun bisa dikatakan demikian. Ini tentu menjadi satu perdebatan yang menarik untuk dibahas. Lagian banyak di luar sana para perokok yang tidak urakan dan juga memiliki spirit sama seperti straight edge.
Akan tetapi saya bisa menemukan suatu titik temu dari permasalahan ini. Menjadi seorang straight edge adalah tentang dirinya sendiri, bukan pengakuan dari orang lain. Seorang straight edge harus memproklamirkan dirinya sebagai seorang straight edge, bukan karena dari penilaian orang lain. Dengan kata lain, banyak yang kemudian memilih untuk tidak mengkonsumsi alkohol, narkotika, rokok, dan juga perilaku seks bebas tapi tidak mengaku straight edge. Dalam hal ini dia berarti tidak bisa disebut straight edge. Menjadi straight edge sebenarnya membiarkan dirinya sendiri mampu mengontrol segala hal buruk terkait dirinya, berpatokan dengan pantangan di atas. Seperti apa yang diucapkan oleh Toro Elmar selaku salah satu straight edge bahwa tentang manfaat straight edge adalah motivasi dan kontrol diri serta perilaku dari apa yang dianggap mereka adalah hal yang buruk.
Memang agak sulit untuk menyatakan diri sebagai seorang straight edge namun masih menjadi seorang perokok, terlepas apapun dalil kita soal rokok. Meski demikian, straight edge juga melarang terkait dengan perilaku kekerasan. Meskipun ada tindak kekerasan terhadap mereka yang tidak sepaham, Ian Mackaye saat diwawancarai majalah Time tak menepikannya dan menyebut kelompok tersebut sebagai minoritas ekstrim dalam straight edge. Lantas bagaimana dengan di Indonesia? Fadhila Jayamahendra atau yang dikenal sebagai Aca selaku pentolan dari band Straight Answers menyebut bahwa menjadi straight edge tak perlu harus bertentangan dan meresistensi parent culture mereka yaitu dalam hal ini hardcore dan punk. Saya melihat ada ruang toleransi di sini dan ini menjadi satu perkembangan yang luar biasa mengingat awal kemunculan straight edge tidak mengenal kata tersebut.
Saya tetap percaya bahwa suatu kebudayaan tidak berjalan saklek, begitu juga dengan straight edge. Meski ada yang juga para perokok yang mengaku dirinya straight edge namun dianggap hanya sebagai poser oleh beberapa pihak. Ruang dan waktu akan memberi jalan dan jawaban apakah subkultur straight edge akan bertahan dengan sprit awalnya. Jika straight edge dianggap sebagai kontrol diri maka para perokok pun sebenarnya bisa, meski mereka tidak memproklamirkan diri sebagai seorang straight edge. Namun seperti apa yang dikatakan oleh Aca bahwa tak perlu ada resistensi, di mana ada ruang toleransi maka bukan tidak mungkin seorang perokok bisa menjadi straight edge, mungkin dengan masih menaati pantangan yang tersisa. Atau setidaknya begini, dengan cara yang saat ini saya pilih, tidak perlu memproklamirkan diri sebagai seorang straight edge, cukup menikmati musiknya dan mengidolakan bandnya, dan juga menghargai perjuangan mereka. Setidaknya itu yang paling bijak untuk saat ini.