Sejak pandemi virus corona (Covid-19) menyerang seluruh dunia, dampak yang ditimbulkan bukan hanya persoalan kesehatan semata, tetapi juga berdampak pada perekonomian global dan masing-masing negara. Dana Moneter Internasional (IMF) telah memprediksi pertumbuhan ekonomi global di 2020 menjadi negatif.
Dampak ekonomi akibat Covid-19 ini sudah mulai dirasakan Indonesia. Meski memang sebelum Covid-19 melanda, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan. Ketika Covid-19 melanda sampai dengan hari ini, berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah mulai lebih rendah dan kemungkinan besar terpuruk sampai dengan 1,1% saja.
Dengan terpuruknya perekonomian, tentu akan ada kekhawatiran datangnya badai krisis ekonomi. Dampak dari badai krisis ekonomi sangatlah mengerikan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja yang terpuruk, tapi juga tumbangnya sektor produksi yang akan memukul sektor ketenagakerjaan. Ditambah dengan kondisi daya beli masyarakat yang terjun bebas, krisis ekonomi dapat memicu terganggunya stabilitas nasional.
Indonesia pernah mengalami krisis, bukan hanya sekali, bahkan beberapa kali. Sejarah mencatat Indonesia memiliki salah satu industri nasional yang memiliki ketahanan terhadap krisis, yaitu Industri Kretek.
Mengapa industri kretek bisa tahan terhadap krisis? Secara teoretik, industri dengan muatan impor (import content) tinggi akan mengalami guncangan sangat keras pada saat terjadi guncangan ekonomi global. Sebaliknya, industri dengan basis material dalam negeri seperti kretek akan cenderung aman dari guncangan.
Berbeda dengan industri nasional lain yang juga kuat, katakanlah industri mi instan dan industri besi baja. Bahan baku industri mi instan (gandum) hampir seluruhnya impor. Begitu juga dengan bahan baku industri besi baja. Sementara industri kretek, meskipun ada muatan impor namun kecil sekali, hanya sekitar 4 persen saja. Muatan impor yang rendah dari keseluruhan bahan baku produksinya membuat industri kretek menjadi salah satu sektor perekonomian yang paling kuat bertahan dari terpaan krisis.
Dalam catatan Sumarno dan Kuncoro, pendapatan negara dari cukai rokok—yang mayoritasnya dibayarkan oleh industri kretek—justru meningkat, dari Rp 4,153 triliun di tahun 1996 menjadi Rp 4,792 triliun di tahun 1997 dan Rp 7,391 triliun di tahun 1998.
Tiga raksasa kretek pada waktu itu, yaitu Sampoerna, Gudang Garam, dan Djarum, juga tergolong sebagai 10 perusahaan Indonesia yang dikategorikan bekerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia tahun 1999 – 2000, versi majalah Far Eastern Economic Review (FEER).
Sementara, dalam catatan Tri Wibowo, selama masa krisis (1997 – 2002), rata-rata pertumbuhan jumlah perusahaan industri kretek naik sebesar 1,85 persen, di mana kenaikan terbesar terjadi di tahun 1998 sebesar 5,26 persen. Selama masa krisis itu pula, rata-rata pertumbuhan pekerja industri kretek meningkat sebesar 4,43 persen per tahun, di mana peningkatan terbesar terjadi di tahun 1998 sebesar 9,73 persen.
Krisis finansial Asia, atau di Indonesia lebih dikenal sebagai krisis moneter, telah menjadi ajang pembuktian ketangguhan industri kretek untuk yang kesekian kalinya. Industri kretek yang lahir di zaman kolonial sebelumnya juga telah melewati berbagai terpaan badai: Perang Dunia I, Depresi Besar tahun 1930-an, penjajahan Jepang (Perang Dunia II), Agresi Militer Belanda, masa penuh kekacauan negara baru, dan suksesi berdarah 1965 – 1966.
Melewati sekian cobaan itu, industri kretek tidak saja menunjukkan kemampuannya untuk bertahan. Ia bahkan semakin kuat, terutama setelah bahan baku mampu dicukupi oleh produksi dalam negeri. Para pelaku usaha rokok putih (rokok asing) tentu lebih bisa bercerita banyak soal itu.
Pada pengujung milenium kedua, lolos dari rangkaian badai dan krisis yang menerpanya, dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada industri nasional yang berkarakter seperti industri kretek: seluruhnya modal dalam negeri, berproduksi di dalam negeri, sebagian besar bahan bakunya dari dalam negeri, dari hulu ke hilir melibatkan puluhan juta tenaga kerja di dalam negeri, mayoritas hasil produksinya dipasarkan di dalam negeri, dan menjadi raja di negeri sendiri dengan menguasai nyaris 90 persen pasar rokok. Karena itu, mempertimbangkan seluruh karakter tersebut, layak rasanya mendudukkan industri kretek di atas industri nasional lain.