Kelompok antirokok terus-menerus menunggangi isu Covid-19 untuk kampanye. Setelah mengeluarkan pendapat ngawur mengenai asap rokok dapat menjadi medium penularan Covid-19, kini mereka mewacanakan kepada publik bahwa memperluas gambar peringatan pada bungkus rokok dapat mempengaruhi persoalan pandemi Covid-19. Wacana tersebut sangat tidak masuk akal, karena tidak memiliki urgensi dan relevansi dalam penanganan Covid-19.
Perluasan gambar peringatan di bungkus rokok sudah sejak lama digaungkan, adanya gambar seram sebesar 40% di bungkus rokok sekarang ini merupakan hasil pekerjaan kelompok antirokok. Selama ini argumentasi yang mereka gunakan adalah dengan adanya gambar peringatan pada bungkus rokok, maka dapat menurunkan pravelensi perokok di Indonesia. Kemudian kini mereka mendompleng isu Covid-19 untuk mendorong perluasan gambar peringatan menjadi sebesar 90%.
Semua argumentasi kelompok antirokok hanyalah omong kosong belaka. Mereka sekedar menunaikan kewajiban yang diorder oleh pendonor asing (Bloomberg, Bill Gates, dkk) agar sesuai dengan pedoman FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Mereka ingin eksis agar dana asing dapat terus mengalir mendanai program-program pengendalian tembakau di Indonesia.
Kenapa kami mengatakan demikian? Karena sejauh ini strategi perluasan gambar peringatan di bungkus rokok sama sekali tidak terbukti mengurangi pravelensi perokok di Indonesia. Jika strategi ini tidak berhasil kenapa masih terus didorong? Ibarat mendaki gunung menggunakan sendal jepit, lalu tergelicir dan mencoba mendaki kembali menggunakan sandal jepit dengan warna yang berbeda. Padahal, mendaki gunung dengan sendal jepit saja sudah keliru.
Kelompok antirokok terlihat ingin menyamakan perokok dengan anak kecil yang bisa ditakut-takuti. Perokok bukan anak kecil, perokok merupakan konsumen yang sudah dewasa secara batasan umur. Menakut-nakuti orang dewasa dengan gambar seram adalah sebuah kebodohan dan menjadi cerminan betapa absurd-nya kampanye antirokok.
Disisi yang lain, wacana yang didorong mengenai perluasan gambar peringatan sebesar 90% ini nantinya akan menimbulkan dampak yang signifikan bagi eksistensi Industri Hasil Tembakau. Apa dampaknya?
Pertama, pabrikan rokok kecil akan semakin terpuruk. Di tengah beban cukai yang semakin tinggi, pabrikan kecil tertimpa beban tambahan untuk menerapkan gambar peringatan di produknya. Cost kembali bertambah, sementara modal dan perputaran uang pas-pasan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Maka tak heran jika banyak pabrikan rokok kecil yang gulung tikar. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya.
Padahal pabrik rokok kecil ini mempunyai manfaat yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar. Pertanyaannya, apakah kelompok antirokok mau bertanggung jawab atas rontoknya ketenagakerjaan dan perekonomian mikro akibat gulung tikar pabrik rokok kecil? Tentu tidak, asal kucuran dana bisa terus dinikmati, masa bodoh dengan persoalan orang-orang yang kehilangan mata pencahariannya.
Kedua, perluasan gambar peringatan sebesar 90% berdampak pada hilangnya brand image pada bungkus rokok. Hilangnya brand image ini akan sangat berbahaya, sebab dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal serta jaminan keamanan produk bagi konsumen.
Target dari wacana perluasan gambar peringatan sebesar 90% pada bungkus rokok ini memang pada dasarnya menyasar untuk menghilangkan brand image produk hasil tembakau. Padahal dampak yang akan ditimbulkan seperti yang telah disebutkan di atas.
Hilangnya brand image pasti akan memicu peredaran rokok ilegal, sebab kita tidak dapat lagi membedakan produk dari brand/merek rokok tertentu. Semua bungkus rokok akan seragam. Tentu ini akan menjadi celah bagi masuknya peredaran rokok ilegal. Konsumen tidak bisa lagi membedakan mana rokok ilegal dengan rokok legal, toh bungkusnya/kemasannya tidak ada pembeda satu sama lain.
Hilangnya brand image juga dapat membahayakan konsumen, sebab konsumen tidak mendapatkan kepastian mengenai produk rokok yang dikonsumsinya. Dengan mengetahui brand yang kita konsumsi, maka kita tahu bahwa brand tersebut memang memiliki pabrik yang sesuai dengan standar nasional, kemananan produknya juga tersandarisasi dengan baik, dan informasi-informasi produk lainnya. Informasi ini memberikan kepastian keamanan produk bagi konsumen.
Ketiga, perluasan gambar peringatan sebesar 90% akan menghilangkan ekspresi budaya. Bungkus rokok merupakan ekspresi budaya bagi pabrik dan masyarakat sejak industri kretek berdiri hingga kini. Mematikan hak berekspresi tentu merupakan pelanggaran hak asasi dalam berekspresi dan berbudaya.
Dalam Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya (Rudy Badil, 2011) kekhasan merk kretek sebagai alat komunikasi antara produsen dengan konsumen diangkat dalam satu bab tersendiri. Hal ini menujukkan keunikan merk kretek yang tercantum di bungkus rokok sebagai alat komunikasi visual dengan audiens yaitu konsumen. Desain bungkus rokok adalah ekspresi budaya dari penciptanya entah disadari atau tidak. Sebagai benda budaya tentu dengan sendirinya dapat menjadi penanda lintasan zaman yang telah dilalui oleh kretek sebagai komoditas unggulan bangsa ini.
Dari ketiga alasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa wacana perluasan gambar peringatan sebesar 90% pada bungkus rokok hanyalah akal-akalan kelompok antirokok untuk melanggengkan penerapan FCTC di Indonesia. Wacana tersebut sangatlah cacat logika dan hanya memberikan dampak buruk bagi Industri Hasil Tembakau dan masyarakat Indonesia. Apalagi wacana ini didompleng dengan isu Covid-19, tak etis rasanya mendompleng isu pandemi global ini untuk wacana yang bertujuan pendanaan. Kecuali memang kelompok antirokok sudah hilang rasa kepedulian dan kemanusiaan terhadap sesama.