OPINI

Gaya Bengis Antirokok Memainkan Isu Anak

Akhir-akhir ini isu mengenai rokok merusak generasi masa depan santer digaungkan. Framing yang dihadirkan dari isu tersebut adalah industri rokok menargetkan anak-anak untuk menjadi perokok yang berdampak kepada rusaknya generasi masa depan akibat dari tingginya pravelensi perokok anak.

Sebenarnya isu tersebut bukanlah barang baru yang dimainkan oleh kelompok antirokok. Sudah lama kelompok antiokok memainkan isu anak dengan berbagai framing seperti, menyoal pravelensi perokok anak, eksploitasi, kecanduan, hingga persoalan etika. Isu anak yang kerap diusung oleh kelompok antirokok memang selalu menjadi isu yang sensitif dan pastinya akan menuai dukungan dari publik.

Namun dibalik jubah kemuliaan antirokok dalam mengusung isu anak, selalu ada kepentingan yang terselip di dalamnya. Dulu pada saat pembahasan RPP Tembakau sebagai konsekuensi dari UU Kesehatan Pasal 113-116 yang tak kunjung disahkan oleh pemerintah, pada momen itu muncul kisah Aldi Rizal, balita dari Musi Banyu Asin yang terbiasa merokok.

Kisah Aldi dieksploitasi besar-besaran termasuk ekspos oleh media asing yang sangat gencar. Kasus Aldi Rizal seolah mempertontonkan kepongahan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat Indonesia dari bahaya rokok. Padahal dibalik ekspos kabar tentang Aldi Rizal hanya ada satu kepentingan, disahkannya RPP Tembakau sebagai PP yang kini menjadi PP 109 Tahun 2012.

Pada tahun-tahun berikutnya isu anak muncul lagi dalam berbagai bentuk, kita masih ingat soal film dokumenter eksploitasi anak di ladang tembakau yang diproduksi oleh Human Right Watch (HRW). Lalu ada eksploitasi anak pada audisi badminton oleh KPAI, ada berita hoax meninggalnya bayi, sampai yang termutakhir video viral sekelompok anak kecil yang sedang merokok bersama orang tuanya.

Kita sama-sama sepakat bahwa akses merokok bagi anak memang harus diperketat agar tidak ada lagi ruang bagi si anak untuk mengakses rokok. Namun tentunya bukan dengan cara-cara menyerang menuding pabrik rokok secara sengaja menjual produknya untuk merusak anak-anak. Apalagi data yang dipakai selalu saja diambil dari WHO yang memiliki kepentingan besar terhadap pengendalian tembakau.

Dari pola kampanye seperti itu, maka kita mencurigai bahwa isu anak tidak benar-benar murni untuk kepentingan perlindungan anak, melainkan ada kepentingan untuk mematikan industri hasil tembakau. Terutama di Indonesia untuk mendorong pemerintah agar mengaksesi FCTC. Dan jika FCTC telah diaksesi maka, gerombolan mafia kesehatan akan mengendalikan industri hasil tembakau di Indonesia.

Pola kampanye yang memakai isu anak juga seakan-akan memframing aktvitas merokok selayaknya aktivitas yang jahat dan terlarang untuk dilakukan. Padahal harus diingat bahwa industri hasil tembakau beserta aktivitas merokok memiliki kedudukan legal yang dilindungi oleh undang-undang.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK bernomor 19/PUU-VIII/2010 bertanggal 1 November dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan, diperjual-belikan, dikonsumsi asal dan tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang.

“Rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau. Pendapat itu juga tercantum dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-VI/2008 dan 6/PUU-VII/2009”.

Dalam kedudukan legal tersebut juga terdapat batasan umur yakni 18 tahun untuk dapat mengakses produk hasil tembakau. Jadi sangat jelas bahwa memang produk hasil tembakau adalah konsumsi bagi orang-orang dewasa, tidak boleh diakses oleh anak di bawah umur.

Dari pemahaman legal ini, seharusnya kampanye yang dilakukan dalam membatasi akses merokok bagi anak di bawah umur adalah dengan melakukan edukasi mengenai batasan umur untuk mengakses produk tembakau. Edukasi ini dilakukan kepada anak, orang tua dan lingkungan sekitar. Sementara untuk para pedagang selain dilakukan edukasi juga harus disertai adanya aturan yang ketat bagi anak yang hendak mengakses produk tembakau, bahkan bila perlu disertai dengan sanksi bagi pedagang yang tidak taat dengan aturan tersebut.

Tetapi yang terjadi selama ini adalah kelompok antirokok memonopoli sendiri dengan mengintervensi kebijakan yang justru tidak memiliki esensi edukasi, sehingga tidak pernah tepat kepada sasaran. Diperparah lagi dengan kampanye yang menjelek-jelekan industri hasil tembakau dan seringkali juga dibumbui dengan rekayasa, seperti yang terjadi pada pembuatan film dokumenter eksploitasi anak di ladang tembakau dan kasus Aldi Rizal si balita perokok.

Jadi jika isu anak terus-menerus hanya dijadikan alat mendompleng kepentingan antirokok, maka yang terjadi adalah stigma buruk terhadap industri hasil tembakau dan masalah perlindungan anak tidak akan pernah selesai. Yang selesai hanyalah proposal kepada donor asing yang cair setiap tahunnya.