REVIEW

Paceklik di Depan Mata

Meskipun sudah menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan selama masa menjalani physical distancing kini, saya tetap tak bisa benar-benar menghindar dari aktivitas melamun. Di rumah saja, dan tanpa rutinitas sebagaimana biasa sebelum pandemi ini hadir di muka bumi, membikin peluang untuk melamunkan bermacam hal menjadi kian besar.

Lantas, malam tadi, sebelum tidur, tiba-tiba saja saya melamun perihal keterkaitan pandemi akibat korona dengan ibadah puasa yang sedang dijalani umat Islam di bulan Ramadan kini. Tulisan ini bisa saya bikin karena hasil lamunan saya malam tadi.

Selain pandemi, virus korona secara tidak langsung bisa mendatangkan paceklik. Setelahmewabah, ia lantas menjadi pandemi di penjuru bumi dengan konsekuensi pembatasan gerak-gerik manusia di luar rumah, pembatasan interaksi antar-manusia, hingga pembatasan perpindahan manusia antar-wilayah. Ini dilakukan untuk meredam penularan virus korona dan memutus rantai pandemi.

Akan tetapi, upaya yang dilakukan untuk memutus penularan korona dengan ragam bentuk pembatasan itu menurunkan konsekuensi lain. Berhentinya perputaran roda ekonomi banyak lini usaha, hilangnya pekerjaan seseorang karena tempat kerjanya mengalami kerugian besar, lesunya pasar dan transaksi ekonomi, dan ragam bentuk turunan krisis ekonomi lainnya.

Saya kira, hanya segelintir kecil saja lini usaha yang tidak terkena imbas krisis ekonomi akibat pandemi ini. Mulai dari bisnis restoran, jasa pariwisata, bisnis otomotif, tekstil, dan masih banyak lagi lainnya, tak bisa menghindar dari krisis ekonomi akibat pandemi kini. Dan hingga hari ini kita semua belum tahu dan belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi dan krisis ekonomi yang menyertainya akan usai.

Akhir bulan lalu, sudah lebih 1,5 juta orang di negeri ini kehilangan pekerjaan. Angka ini masih akan terus bertambah dengan perkiraan puncak PHK massal terjadi usai lebaran. Jutaan orang akan kehilangan sumber penghidupan utama akibat pandemi ini. Tentu saja ini mengerikan.

Di desa-desa, bukannya tidak akan terkena imbas krisis ekonomi akibat pandemi ini. Lesunya perputaran roda perekonomian akibat pandemi membikin hasil bumi yang ada di desa tidak bisa terserap dengan baik. Informasi-informasi perihal anjloknya harga-harga komoditas yang dihasilkan desa membikin petani pusing dan merugi. Peternak-peternak ayam sampai-sampai menghibahkan ayam milik mereka karena hancurnya harga jual dan ketiadaan pembeli.

Pada akhirnya, semua terpukul, semua terkena imbas dari krisis yang diakibatkan pandemi hari ini. Tidak kaya, tidak miskin, semua, semuanya sudah dan akan terkena imbas krisis ekonomi akibat pandemi ini.

Kondisi semacam ini, adalah sebuah kondisi paceklik besar-besaran. Banyak orang akan kehabisan uang, banyak pengusaha bangkrut, petani-petani penghasil komoditas merugi, ancaman paceklik massal benar-benar sedang mengintai kini.

Per hari ini, Ramadan sudah memasuki hari ke-15. Sudah 15 hari umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa. Saya lantas berpikir, ancaman paceklik massal di depan mata, dan mau tidak mau manusia di negeri ini mesti menghadapinya, maka ibadah puasa kini saya kira menjadi salah satu sarana baik untuk latihan agar benar-benar bisa menghadapi masa paceklik akan terjadi di depan.

Bukan sekali dua Rasulullah dan para sahabatnya menjalani puasa sunah karena memang tidak ada makanan sama sekali yang bisa diolah di dapur mereka. Mereka menghadapi ancaman kelaparan dengan ibadah puasa sunah. Sementara kita kini, menjalani puasa wajib di bulan Ramadan dengan kemungkinan usai Ramadan krisis ekonomi besar akan melanda negeri ini.

Maka, tidak ada salahnya kita menjadikan ibadah puasa Ramadan kini sebagai ajang persiapan menghadapi paceklik ke depan. Mari berusaha berpuasa seperti puasa yang dianjurkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Puasa yang mengajarkan kesederhanaan dan kezuhudan.

Sudah saatnya kita mengembalikan rutinitas ibadah puasa Ramadan pada esensi awalnya untuk melatih diri merasakan penderitaan. Bukan puasa yang sebaliknya, menjadi ajang pemborosan ketika sahur lebih lagi saat berbuka puasa. Puasa yang hilang esensinya, bukannya mengurangi makan dan merasakan penderitaan, malah puasa yang mendatangkan balas dendam kerakusan ketika sahur dan terutama saat buka puasa. Puasa yang semestinya menjaga volume makanan yang dikonsumsi menjadi kemubadziran dalam bentuk sisa-sisa makanan yang terbuang.

Krisis ekonomi dan paceklik mengintai di depan sana. Semoga kita semua bisa melaluinya dengan selamat.