REVIEW

Kaum Ksatria dan Dharma

Ini bukan sekadar perkara tembakau. Juga bukan cuma urusan nikotin dan rokok saja lagi yang, sejak tahun 1990an, sudah menjadi isu besar dunia bisnis. Lagi pula, saya bukan keluarga Haji Djamhari dari Kudus, yang merintis pabriknya pada tahun 1880. Saya pun tak ada hubungan dengan keluarga Nitisemito, pendiri Bal Tiga. Tidak juga dengan keluarga Liem Seeng Tee, pendiri Dji Sam Soe dan Sampoerna. Saya pun bukan keluarga, dan bahkan tak mengenal keluarga Oei Wie Gwan, pendiri Djarum, maupun keluarga Tjou Ing Hwie, pendiri Gudang Garam.

Bagi saya, yang tak ada sangkut pautnya dengan dunia bisnis—termasuk bisnis rokok— nama-nama mereka seperti terkubur dalam waktu, yang terbentang panjang, lebih seabad, sehingga baru akhir-akhir ini—ketika muncul sensasi ‘perang nikotin’— saya sempat membaca prestasi besar mereka. Seperti dapat dibaca di dalam halaman demi halaman buku ini, mereka bukan hanya meninggalkan nama besar, melainkan juga mewarisi keluarga mereka—dan juga masyarakat luas—sumber kehidupan ekonomi yang sangat besar.

Di saat dunia bisnis lesu dan ekonomi—yang langsung menyangkut hajat hidup rakyat kecil—tak bisa diandalkan, kita diperhadapkan pada fenomena menarik, bahwa pabrik rokok kita maju di pasaran internasional. Mendengar rokok kretek kita mengalahkan rokok putih di kandangnya sendiri, dan di tengah konsumen setianya, kita merasa seperti mendengar dongeng. Bisnis kretek telah mewujudkan apa yang tampaknya tak mungkin, menjadi mungkin.

Selebihnya, pabrik kretek hasil rintisan mereka lebih seabad lalu, kini merupakan salah satu penyumbang cukai terbesar, pengguna bahan
baku lokal, penampung tenaga kerja yang sangat besar, penyanggah pasar dalam negeri dan pemicu produksi petani. Ini merupakan sumbangan tak ternilai, yang mengharumkan nama bangsa. Kretek memberi kita merek istimewa dalam percaturan internasional.

Maka, pelan-pelan saya menyadari, bisnis inil lebih dari sekadar berharga untuk dimusuhi dan juga lebih dari layak dirampas dengan berbagai cara. Kelompok yang disebut ‘tobacco lobbyist’ gigih melakukan lobi-lobi ke berbagai pihak, juga ke organisasi kesehatan dunia, WHO, yang seharusnya tak tersentuh ‘debu’ itu. Tapi kenyataannya organisasi itu sama sekali tak sakti, dan tak berusaha menjaga sikap sakralnya, karena masih mempan dibujuk, dan goyah, sehingga sekarang menjadi pendukung gigih segenap langkah mereka.

Sejumlah intelektual kita bersedia menjadi propagandis mereka. Dengan hanya
memandang ke satu jurusan –bahwa rokok merusak kesehatan—mereka bekerja keras dengan sikap partisan yang tak perlu ditutupi. Nama besar kelompok ‘lobbyist’ itu sangat berpengaruh. Juga uang di kantong mereka. Dengan uang, harga diri dan peran mulia kaum intelektual pun bisa dibeli.

Tak mengherankan bahwa meskipun semua argumen kesehatan dan dalil ilmiah bahwa rokok merusak kesehatan dan menjadi penyebab kematian telah rontok di tangan Wanda Hamilton, yang menulis buku Nicotine War, orang-orang ini tetap membela secara membabi-buta kepentingan kelompok ‘lobbyist’ tersebut. Mereka seperti sudah kalab.

Mark Hanusz, yang menulis dengan anggun buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, memberi ilustrasi indah menawan dengan penjelasan detail mengenai industri yang sudah 120 tahun usianya, didasarkan atas suatu ‘grounded research’ yang jujur secara ilmiah, dan secara moral, tak mereka tengok sebagai rujukan.

Sindiran halus Christopher Buckley, dalam novel Thank you For Smoking, lebih tak diperhatikan. Buckley menulis epilog di dalam novelnya itu dengan menghadirkan Larry King, pewawancara kesohor itu, untuk menegaskan betapa sehatnya merokok, dan dia tak ada hubungan dengan kanker paru-paru:

“Good evening. I am Larry King. Our guest tonight, Nick Naylor, who has been here before on several occasions, but tonight is not going to tell us that there is no link between smoking and lung cancer. Right?”

“That’s right, Larry.”

Pihak ‘lobbyist’ memang sangat piawai melakukan pendekatan, dan bujukanbujukan, yang lembut dan mendebarkan. Ada pendekatan perorangan. Ada pula bujukan lewat organisasi ilmiah maupun organisasi sosial keagamaan. Dengan duit tadi, organisasi ilmiah—di bawah nama Universitas besar dan ternama di Indonesia— bisa diperintah melakukan penelitian pesanan, dengan kesimpulan pesanan pula. Inti kesimpulannya harus berbunyi: ‘tembakau, dan rokok, membahayakan kesehatan’. Lalu pendekatan lapangan yang bias kepentingan politikekonomi itu pun dibuat. Dan diambillah responden dengan cara demikian rupa agar himpunan informasi dari mereka dapat mendukung kesimpulan yang sudah ‘ditemukan’ sebelum penelitian lapangan dilakukan.

Betapa mengenaskannya jiwa ilmuwan kita. Suatu pelacuran ilmiah yang terbuka, tanpa tedeng aling-aling, bukan ditolak, tapi malah diikuti. Mereka yang seharusnya setia memanggul dharma hidup sebagai pencari kebenaran dan karenanya harus bersikap merdeka terhadap bujukan materi, sudah takluk. Simbol kemandirian intelektual gugur. Lembaganya roboh dan dikoyak-koyak coro. Dan jiwa manusia di dalamnya nyungsep secara hina, lebih hina dari binatang melata. Begitu ironi tentang manusia, sebagaimana dikatakan kitab suci.

Majlis Tarjih, otoritas penentu kiblat moral, dari suatu organisasi sosial keagamaan yang sangat berwibawa, yang didirikan oleh Kiai besar yang hidup zuhud, yang jelas menarik garis batas dengan dunia yang fana ini, dilanjutkan para rohaniwan besar, yang saleh, kini telah dihancurkan sendiri dari dalam oleh pengaruh uang, sekitar empat miliar rupiah jumlahnya. Sebagai anggota organisasi itu, saya merasa, orang-orang di Majlis penentu arah ini seperti membuat ‘W.C. Umum’ yang berbau busuk di ruang rapat mereka sendiri.

Para intelektual individual maupun mereka yang mewakili lembaga masing-masing, telah merusak batas-batas wilayah kotor dan wilayah ‘suci’: yang satu menjual harga diri, yang lain menjual agama, masing-masing dengan harga murah. Mereka yang faham sefaham-fahamnya larangan agar manusia tak mencampuradukkan apa yang haq—yang suci dan benar—dengan segenap apa yang bathil, telah menjadi buta. Bagaimana sebuah penentu kiblat hendak berfungsi secara sosial dan moral bila mereka telah buta akan kedua perkara itu?

Saya menulis kata pengantar buku ini bukan untuk membela rokok kretek. Sikap ini bisa berlaku untuk banyak hal yang lain. Dengan sikap seperti ini pula—kurang lebih—saya mengutuk Malaysia, ketika dengan angkuh, dan sikap tak peduli menghormati hak milik dan kedaulatan bangsa lain, mereka mau mencaplok lagi pulau-pulau terluar di garis batas wilayah kedaulatan Republik kita, dan mau mengangkangi hak milik budaya, yaitu lagu-lagu dan seni reog kita.

Jika diperlukan—artinya bila harga diri dan hak-hak kita dirampas— kita tak segan mengganyang kembali Malaysia sampai tinggal menjadi ampas. Dan ini pun berlaku bukan hanya buat pulau-pulau dan hak budaya. Sikap para Ksatria dan kaum Brahmana terhadap kebenaran kurang lebih seperti ini. Mereka dibentuk oleh alam untuk menjadi payung bagi kebenaran, agar tak seorang pun mengganggu gugat posisinya. Kebenaran harus terjamin, aman, dan terlindung di tempatnya.

Tapi para Ksatria di lembaga riset—sebetulnya mereka juga Brahmana— dan para Brahmana di lembaga keagamaan kita, telah kehilangan kiblat. Mustahil mereka tak mengetahui bahwa di balik dalil kesehatan yang tak manjur itu, ada niat mengambil alih—merampok— industri kretek kita. Dalilnya runtuh, tapi niat kolonialisnya, dan imperialisnya, masih tetap menganga siap mencaplok. Maka dibuatlah dalil agama, dan dengan sikap naif yang tak mudah dipahami, kelompok Brahmana membuatkan dalil dengan harga yang mereka sepakati. Tapi dalil ini pun harus rontok sebelum musim gugur agar keserakahan tak berkembang.

Kita, di sini, tak lagi bicara kebenaran sebagai isu moral dan isu politik yang bisa disulap menjadi samar-samar. Kita sudah berdiri di garis hidup yang tak lagi mungkin ditawar, seperti dulu ketika para pendahulu kita berteriak heroik tentang pilihan terbatas antara merdeka atau mati. Dalam situasi kritis macam ini, maka dalil, sesahih apapun, tak bisa mengalahkan kebutuhan untuk hidup, merdeka, dan jaya. Atau mati.

Sekali lagi patut ditegaskan: ini bukan perkara ‘mbako’ atau rokok. Neokolonialisme dan imperialisme, yang dulu diteriakkan Bung Karno, seolah secara sloganistik, bukan sekadar slogan, bukan hanya konsep, tapi keduanya benda nyata, yang mengancam harga diri dan kedaulatan kita sebagai pribadi, maupun harga diri dan kedaulatan kita sebagai bangsa.

Apa yang harus kita lakukan?

“Mengikuti sikap peneliti di lembaga penelitian yang jiwanya telah tergadai itu?”
“ Tidak!”

“Mencontoh jejak para perumus hukum tentang
halal-haram yang tak lagi tahu batas halalharam itu?”

“Tidak!”

“Jadi, apa yang harus dilakukan?”

“Melawan. Mungkin tak perlu menghitung segenap risiko. Ini pilihan terbaik kita”

Alam senyap. Pada detik-detik yang merupakan ‘short moment’ untuk menentukan sikap sesuai kata hati nurani, kita bukan sama sekali tak merasa takut. Ketakutan itu tetap bersama kita. Tapi langkah harus diambil. Dan jangan lupa kata Karna: dharma memang pelik.

*Penulis: Mohammad Sobary
(Diambil dari pengantar buku: Kretek Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota)