rokokkretek
OPINI

Mengandalkan Industri Hasil Tembakau di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 memukul perekonomian Indonesia. Hal ini berimbas kepada penurunan penerimaan negara dari segala sektor. Bahkan penerimaan negara diprediksi terkoreksi 10 persen menjadi Rp1.760,9 triliun pada 2020, dari proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebelumnya yang senilai Rp2.233,2 triliun.

Di tengah krisis yang mendera, penerimaan negara kita tertolong dengan sumbangan pajak dan cukai Industri Hasil Tembakau (IHT). Ketika sektor industri lainnya ngos-ngosan menyetor pajak, sektor IHT justru tetap konsisten berkontribusi terhadap penerimaan negara. Sementara industri lainnya jangankan berkontribusi, untuk beroperasi saja sudah ngos-ngosan.

Penerimaan pajak pada kuartal pertama tahun ini tercatat hanya mencapai Rp 24,61 triliun. Padahal penerimaan pajak kuartal pertama tahun lalu bisa mencapai Rp248,98 triliun. Penerimaan negara dari sektor pajak turun sangat drastis dibandingkan tahun lalu. Pandemi memukul telak penerimaan negara dari sektor pajak.

Penerimaan negara pada kuartal pertama tertolong dari bea dan cukai yang naik hingga 16,17%. Realisasi hingga akhir April 2020 mencapai Rp 57,66 triliun atau 24,65% dari APBN sesuai Perpres 54/2020. Tumbuhnya setoran dari bea dan cukai didorong oleh penerimaan dari cukai, khususnya cukai hasil tembakau yang meningkat 25,08%

Boleh dibilang IHT menjadi tulang punggung pendapatan negara di kala pandemi berlangsung. Ini sangat ajaib, karena sebenarnya IHT memikul beban yang sangat berat di tahun ini. Bayangkan di tengah kondisi daya beli yang terus merosot, cukai rokok malah dinaikkan, diperparah dengan Harga Jual Eceran (HJE) yang juga mengalami kenaikan.

Namun hingga saat ini IHT masih dapat memikul beban berat tersebut dan masih eksis berkontribusi bagi pendapatan negara. Entah bagaimana strategi yang dijalankan oleh pabrikan untuk dapat eksis di masa pandemi, namun tentu seharusnya ini menjadi catatan bagi pemerintah bahwa sektor IHT harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, terutama soal kebijakan kontraproduktif yang ditelurkan selama ini.

Meskipun IHT masih bisa diandalkan sebagai tulang punggung pendapatan negara, namun jika perhatian dan kebijakan pemerintah masih tidak memiliki keberpihakan terhadap sektor IHT, maka tinggal tunggu waktunya saja IHT tidak bisa lagi eksis menopang pendapatan. Hal ini ibaratkan memerah sapi terus-menerus tanpa henti sampai ketika sapi tidak lagi menghasilkan susu, lalu menyesal di kemudian hari .

Pemerintah masih harus melihat efek yang ditimbulkan akibat dari kebijakan kontraproduktif seperti menaikkan cukai rokok di tahun ini. Efek riil saat ini terjadi penurunan volume penjualan industri rokok sebesar 7-8%. Padahal tahun-tahun sebelumnya penurunan volume masih berada di angka 2%.

Melihat masih terus terjadinya penurunan volume penjualan, diprediksi pada tahun ini pabrikan akan mengalami penurunan omzet sebesar 15%-20%. Ketika terjadi penurunan omzet, maka permintaan tembakau dari pabrikan ke petani diprediksi akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih diprediksi penurunannya bisa sampai 40%.

Jika ini sampai terjadi, jangan harap sektor IHT dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara. Justru yang terjadi adalah potensial lost pendapatan negara dari sektor IHT. Mulai saat ini pemerintah harus membuka mata bahwa sektor IHT lebih berharga ketimbang ocehan kampanye antirokok.