OPINI

Stigma Terhadap Perempuan Perokok

Ada banyak stigma yang dipaksakan menjadi fakta. Padahal ia tidak seutuhnya fakta. Karena tidak seutuhnya fakta, maka ia jelas bukan fakta. Ia sekadar stigma yang karena kekuatan dominan, atau karena pengaruh kuasa, atau karena kekuatan berita-berita yang disebarkan, berubah dan dipercaya sebagai fakta.

Ciri khas stigma adalah pukul rata. Pukul rata itu ada yang dialamatkan terhadap etnis tertentu. Misal: Orang Cina itu pelit; Orang Jawa suka menusuk dari belakang; Orang Papua itu pemabuk. Selain itu, masih ada banyak lagi. Itu sekadar contoh saja.

Terhadap gender. Misal: Perempuan itu lemah; laki-laki semuanya ‘buaya’, Terhadap wilayah tertentu. Misal: Gunung Kidul gersang. Dan seterusnya. Ada banyak sekali contoh stigma yang berhembus dan dipercaya sebagai fakta oleh sebagian orang.

Karena itu situsweb bolehmerokokdotcom, maka mari kita bicara stigma yang beredar di seputar rokok.

Sekira lima bulan lalu, anak pertama saya dan istri lahir. Seorang anak perempuan yang bagi kami orang tuanya tentu saja menganggap Ia anak yang cantik dan berharap Ia menjadi orang yang baik dan shalehah. Sulit memang mendefinisikan orang baik itu sesungguhnya seperti apa, lebih mudah mendefinisikan orang yang shalehah karena panduan-panduan jelasnya sudah tercantum dalam Al Quran dan Hadist nabi, ini dalam konteks agama Islam tentu saja. Karena saya beragama Islam. Saya hanya tahu itu.

Tentu agama dan keyakinan lain memiliki definisi lain terkait ciri anak shalehah. Itu sah-sah saja. Saya bukan hendak membanding-bandingkan antar agama di sini. Tataran saya dalam konteks ini, cukup sampai menghormati. Bukan untuk mengomentari.

Sialnya, ciri anak baik dan anak shalehah di negeri ini menempatkan seorang perempuan yang merokok pada posisi berseberangan. Ia dipercaya sebagai fakta padahal sekadar stigma. Bahwa perempuan yang merokok adalah ciri perempuan tidak baik, bukan perempuan shalehah. Stigma ini lintas agama sepertinya, bahkan juga lintas kepercayaan.

Ketika anak saya lahir dan saya tahu Ia berjenis kelamin perempuan, lantas beberapa teman saya bertanya, “gimana rasanya jadi seorang bapak, Waz?”

“Bahagia, tetapi juga membayangkan akan lebih berat ke depannya.” Jawab saya. Setelah membakar sebatang rokok kretek favorit saya, mengisapnya barang dua tiga isapan, memastikan bara api hasil pembakaran sudah benar-benar sempurna, saya melanjutkan, “Ada banyak kebahagiaan yang datang dan saya rasakan setelah lahir anak pertama saya. Banyak, banyak bangetlah. Nanti kamu rasakan saja sendiri. Ini sulit untuk digambarkan. Sebaiknya langsung dirasakan saja.” Jawaban ini tentu saya tujukan kepada rekan saya yang belum menikah, atau belum punya anak.

Salah satu yang saya bayangkan lebih berat ke depannya adalah anak saya seorang perempuan. Terlalu banyak stigma yang ditempelkan pada perempuan. Kelak, bersama anak dan istri, kami akan berat melawan stigma itu. Karena stigma itu bahkan juga dipercaya sebagai fakta oleh orang-orang terdekat kami. Keluarga kami sendiri. Dari stigma yang banyak terhadap perempuan itu, stigma tentang perempuan perokok salah satunya.

Jika usia anak perempuan saya sudah 18 tahun, dan Ia ternyata memutuskan untuk menjadi perokok, dilema besar akan saya hadapi. Secara hukum dan peraturan di negeri ini, siapa saja boleh dan sah-sah saja menjadi seorang perokok (termasuk anak saya) saat usianya mulai memasuki 18 tahun, selama Ia mengikuti syarat dan peraturan yang berlaku. Ditambah ketentuan-ketentuan khusus semisal tidak boleh merokok saat hamil.

Jadi jika anak saya kelak saat usianya masuk 18 tahun dan memutuskan untuk merokok, semestinya saya mengizinkan saja. Kelak, jika itu terjadi, saya memang akan tetap mengizinkan namun dengan syarat yang sangat ketat. Hanya boleh merokok saat bersama saya saja. Di luar itu, tidak bisa. Dan, kelak jika sudah punya anak, berhentilah merokok. Itu syarat yang akan saya terapkan pada anak saya. Berat dan seakan melanggar hak azasi manusia. Tapi saya akan memberi penjelasan kepada anak saya mengapa ada syarat seketat itu.

Syarat seketat itu mesti saya adakan karena saya merasa masih berat menghadapi stigma yang dialamatkan kepada perempuan perokok. Saya merasa tidak mampu menghadapi sendiri stigma itu, saya juga merasa anak saya tidak akan mampu menghadapi stigma itu sendirian, lebih lagi di keluarga besar kami. Jika kami berdua merokok bersama dan datang pertanyaan terkait stigma itu kepada kami, saya merasa kami lebih mampu menghadapinya. Saya optimis.

Rasa optimis saya bertambah saat tahu ada sebuah wadah berupa situsweb boleh merokok ini, ada lembaga bernama Komite Nasional Pelertarian Kretek (KNPK), ada komunitas yang intensif menyuarakan isu kretek bernama Komunitas Kretek, ada komunitas penikmat tingwe, individu-individu yang bergerak secara sadar menyuarakan isu kretek, dan banyak elemen lainnya, yang bersama-sama melawan stigma yang dialamatkan terhadap rokok terutama rokok kretek. Termasuk isu perempuan yang merokok.

Tapi optimisme saya mesti saya tahan-tahan dengan menjaga kesadaran bahwa perlawanan terhadap stigma itu tetap berat meskipun sudah dilakukan bersama-sama. Dengan menjaga kesadaran dengan tidak terbuai akibat optimisme terlalu tinggi, saya tetap bisa menyusun strategi dengan baik, tidak gegabah. Karena melawan stigma-stigma yang beredar di masyarakat, adalah perlawanan yang panjang. Stigma apapun itu, termasuk stigma terhadap perempuan perokok.