CUKAI

Wacana Simplifikasi Cukai Rokok Mengancam Eksistensi Kretek

Wacana simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai dan penggabungan volume sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) kembali bergulir. Di tengah pandemi seperti sekarang ini, wacana simplifikasi menjadi beban tersendiri bagi industri kretek.

Kebijakan yang ada serta kondisi pandemi telah memukul banyak aspek bagi industri kretek. Kenaikan tarif cukai sebesar 23% ditambah kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% cukup menghajar industri kretek. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang memporak-porandakan perekonomian nasional, ibarat jatuh tertimpa tangga pula, itulah gambaran industri kretek saat ini.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memperkirakan kenaikan cukai dan pandemi virus corona bakal memangkas penjualan rokok hingga 20 persen. Pemangkasan ini mau tidak mau harus dijalankan oleh pabrikan agar dapat survive dari lubang kebangkrutan.

Munculnya wacana simplifikasi menambah cemas stakeholders kretek, sebab simplifikasi akan mengancam pabrikan kecil dan menguntungkan pabrikan besar. Mengapa demikian?

Simplifikasi akan membuat pabrikan kecil head to head dengan pabrikan besar, sebab tak ada pilihan golongan produksi bagi mereka. Selama ini pabrikan skala kecil mengisi golongan bawah produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) maupun Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Ketika simplifikasi diterapkan maka tidak ada lagi golongan bawah maupun golongan atas, hanya ada satu golongan yang tentunya menguntungkan pabrikan besar yang kuat secara modal dan sumber daya lainnya. Hal ini akan menimbulkan karakter pasar oligopolistik.

Selain menimbulkan karakter pasar oligopolistik, simplifikasi juga akan berdampak kepada terancamnya eksistensi Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Saat ini trend produksi dan konsumsi SKT sedang mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, produksi SKT sejak periode 2011 sampai 2017 terus menurun sebesar 5,5% per tahun.

Pabrikan kecil berperan besar terhadap pelestarian SKT, sebab produk SKT menjadi andalan bagi roda bisnis pabrikan kecil. Jika banyak pabrikan kecil yang gulung tikar akibat simplifikasi maka produksi SKT akan terus mengalami penurunan. Padahal SKT merupakan industri padat karya yang dapat menampung banyak tenaga kerja.

Nasib tragis juga akan menimpa jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) baik yang diproduksi oleh pabrikan kecil maupun pabrikan besar. Pertama; bisa jadi Sigaret Putih Mesin (SPM) diturunkan levelnya disesuaikan dengan SKM. Kedua; atau SKM dinaikkan levelnya sesuai SPM. Keduanya sangat merugikan industri kretek asli produk Indonesia berupa SKM. Kalau yang pertama, keuntungan SPM (industri asing) harganya disamakan SKM, sehingga persaingan penjualan dipasaran relatif mudah, sehingga SKM sangat dirugikan.

Jadi penerapan simplifikasi sangat jelas akan merugikan industri kretek. Sementara kretek sendiri merupakan produk khas asli Indonesia yang rantai produksi dari hulu ke hilirnya dikerjakan di dalam negeri dan diolah oleh anak bangsa. Kretek merupakan simbol kedaulatan dan kemandirian Indonesia.