OPINI

Ada Kepentingan Asing Di Balik Isu Penyederhanaan Tarif Cukai

Isu penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai kian menguat lagi. Smplifikasi masuk dalam sasaran rancangan pembangunan nasional ke depan. Padahal jelas, simplifikasi cukai sangat merugikan keberadaan industri rokok kretek (industri nasional).

Selama ini tarif cukai rokok di atur berkelas guna membedakan golongan. Sederhananya dibagi tiga golongan, yaitu kecil, menengah dan besar. Begitu pun tiap golongan dibagi kelas lagi ada 1, 2 dan seterusnya. Pembagian golongan ditentukan dari sifat rokok dan jumlah produksi perhari. Contoh pembagiannya ada sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), Sigaret kretek tangan (SKT).

SPM dan SKM beda sifat, SPM bahan bakunya tanpa cengkeh, sedang SKM menggunakan cengkeh. SPM bukan asli Indonesia, SKM buatan asli Indonesia. SPM bahan baku bukan dari petani Indonesia, SKM bahan bakunya dari petani Nusantara.

SPM, SKM beda dengan SKT, dilihat dari pengerjaannya. SPM dan SKM menggunakan mesin, jadi pengerjaannya tiap detik bisa ribuan batang. Sedang SKT pengerjaannya masih relatif tradisional menggunakan tangan dengan bantuan alat tradisional, atau terkenal dengan sebutan alat linting serta padat karya (membutuhkan banyak karyawan). Jumlah produksi SKT perhari lebih sedikit dibanding SPM/SKM.

Hasil produksinya pun berbeda, kalau SKT hasilnya berbentuk konus (ujung hisap lebih kecil dari ujung bakar), sedang SPM dan SKM berbentuk silinder (ujung hisap dan ujung bakar besaran diameternya sama). SKT dan SKM bahan bakunya sama-sama memakai cengkeh asal petani Nusantara.
Nah, antara SPM, SKM dan SKT jelas-jelas beda, walaupun keluaran hasilnya sama-sama dinamai rokok. Tentunya tarif cukai dari tiga golongan tersebut harusnya memang beda perlakuan, jika dilihat dari perbedaan di atas.

Yang jadi pertanyaan ketika ada isu simplifikasi/penyederhanaan/penggabungan, golongan mana yang akan disederhanakan dengan cara digabungkan menjadi satu tarif cukai?

Jika SPM dan SKM disatukan, jelas merugikan industri nasional. Selanjutnya tidak ada beda perlakukan dengan industri asing. Jika SKM dan SKT disatukan, juga demikian, tak berpihak terhadap industri padat karya/ karyawan.

Alasannya apa tidak bisa diperlakukan sama dari salah satu dari tiga golongan tersebut? Secara prinsip dikatakan Azami Mohammad, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek kalau dilapangan tiga golongan terjadi head to head saat memasarkan produknya, diadaptasi dari Kontari.co.id rilis 12 Juli 2020.

Misal, SPM dan SKM digabungkan dalam satu layer tarif cukai. Maka asumsi sederhananya golongan SKM naik tingkat ke golongan SPM, atau sebaliknya golongan SPM turun masuk golongan SKM.
Selanjutnya akan berdampak terhadap penyamaan pungutan cukai keduanya. Jika disamakan, industri lokal berupa SKM, sangat dirugikan. Tarif pungutan cukai SKM bisa jadi naik sejajar dengan SPM, atau tarif pungutan cukai SPM turun ke layer SKM. Hal ini akan berimbas pada harga jual sama SKM dan SPM dipasaran. Ketika terjadi demikian, tidak ada perlindungan terhadap industri nasional, yang jelas-jelas produk dalam negeri memakai bahan baku asli dari petani dalam negeri pula.
Yang lebih urgent ketika SPM dan SKM tarif cukai disamakan, produk asing berkeliaran di Indonesia. Sebaliknya riil dilapangan produk SKM peredarannya dihalangi aturan-aturan negara asal SPM, sehingga tidak bebas pemasarannya di negara tersebut.

Pasaran SKM di negara SPM bagus dan permintaannya pun tiap tahun meningkat, namun akhir-akhir ini di tekan aturan-aturan sehingga sulit beredar bebas di negara SPM. Nah, pemerintah harus sadar, harusnya berlaku demikian seperti perlakuan negara asal SPM terhadap SKM.
Jika aturan simplifikasi jadi diterapkan oleh pemerintah Indonesia, sama saja pemerintah pro industri asing, pro petani asing, pro karyawan asing.
Keadaan inipun demikian, jika yang digabungkan tarif cukai rokoknya antara SKM dan SKT. Pemerintah sama saja membunuh kretek tangan yang padat karya. Pemerintah akan membunuh puluhan juta karyawan kretek tangan. Karena dengan digabung tarif cukainya, tidak mungkin SKT akan bisa menyaingi pasaran SKM. Apalagi jumlah produksi tiap harinya SKT jauh lebih sedikit dibanding SKM. SKT tak akan sanggup bersaing.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia disaat menghadapi dampak pandemi pada sektor perekonomian membuat aturan yang melindungi industry nasional. Jangan hanya menggenjot penerimaan dan meningkatnya pendapatan Negara melalui cukai, akan tetapi aturan perlindungan terhaap industri nasioanal lebih diutamakan.
Jika aturan simplifikasi/penyederhanaan/penggabungan tarif cukai rokok tetap dilaksanakan, sama saja pemerintah menciderai rakyat Indonesia. Karena keberadaan rokok kretek di Indonesia bukan hanya sekedar warisan budaya, akan tetapi menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat.
Efek dominonya, jika industri rokok kretek mati atau melemah, dampaknya besar terhadap sektor ekonomi lainnya terlebih perekonomian disekitaran industri rokok kretek. Seperti pasar disekitar industri rokok kretek ikut sepi dan melemah, masyarakat sekitar industri pendapatannya merosot, dan masih banyak lagi efek domino yang akan ditanggung masyarakat pedesaan (masyarakat kecil).