REVIEW

Belajar dari Masyarakat Adat

Pernah ada masanya, masyarakat di Nusantara, hidup berkelompok-kelompok dalam sebuah komunal kolektif. Mereka membangun kesepakatan bersama yang pada ujungnya menjamin kemandirian dan kesejahteraan bersama. Ragam bentuk kesepakatan dibikin, semua itu dituangkan dalam aturan-aturan yang disebut hukum adat atau sejenisnya yang dikontekstualisasikan dengan lingkungan tempat kelompok-kelompok itu tinggal.

Mulai dari sistem ketahanan pangan, jaminan kesehatan, program pendidikan, kelestarian lingkungan, semuanya dibikin berdasar kesepakatan bersama. Semua itu dibalut selimut indah kebudayaan, budaya, buah cipta-rasa-luhur manusia.

Gelombang besar modernisme dalam jubah-jubah semacam globalisasi, pasar bebas, dan penyamarataan menggulung semua itu. Mereka yang kini masih mempertahankan sistem kehidupan kolektif komunal semacam itu (biasanya di Indonesia, bahkan mungkin di dunia, direpresentasikan oleh masyarakat adat) akan dicap primitif, terbelakang, tertinggal, dan belum maju. Nggak modern, Lu!

Beberapa tahun belakangan, saya belajar banyak dari beberapa kelompok masyarakat adat perihal sistem pendidikan dan ketahanan pangan yang mereka jalani dalam komunitas. Kesimpulan saya, proses pendidikan yang diterapkan masyarakat adat betul-betul dirancang untuk menyiapkan anak-anak agar bisa bertahan hidup sembari terus mempertahankan adat.

Ini paling ideal tentu saja. Dan tidak ada yang terlalu ideal di bumi. Namun proses pendidikan yang sudah dilakukan mereka, mendekati ideal. Lebih dari itu, proses pendidikan dijalani dengan sangat cair dan menyenangkan. Sesuatu yang sulit didapat dari pendidikan formal. Dan mereka tidak pernah repot-repot melabeli itu sebagai pendidikan alternatif, bahkan sama sekali tidak melabeli itu pendidikan. Ya hidup. Kehidupan. Pendidikan itu berpilin berkelindan dengan nafas kehidupan komunitas.

Begitu juga dalam sektor ketahanan pangan. Masyarakat adat membangun sistem ketahanan pangan yang pada akhirnya menjamin panganan sehat dan bebas dari ancaman kelaparan, bahkan hingga ratusan atau ribuan tahun.

Mereka yang begitu itu, meminjam paradigma modern, banyak dari kita melabeli mereka primitif. Lantas menolak dan merendahkan cara mereka bertahan hidup. Sistem pendidikan diganti dengan sistem pendidikan formal dalam ruang-ruang bernama sekolah. Kursus-kursus keterampilan hingga kuliah diselenggarakan. Semua itu berbiaya tidak murah.

Pupuk kimia sintetis menyebar bak jamur di musim penghujan. Menggenjot produksi dengan memaksa pertanian monokultur. Hutan-hutan dibabat diganti tanaman seragam. Semua atas nama modernisme dan penumpukan keuntungan.

Kini saat beberapa dari kita menyadari bahwa banyak yang kurang, banyak yang salah, banyak yang tidak bisa diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan dari ide-ide modernisme itu, kita berbondong-bondong memuji masyarakat adat, sembari menyesal.

Beberapa mencoba kembali berusaha membangun proses pendidikan yang menyenangkan laiknya masyarakat adat membangun proses pendidikan mereka. Sayangnya, itu banyak dilakukan sebatas simbol-simbol dan pelabelan belaka. Membikin sekolah dengan tambahan label ‘alternatif’ tanpa mengubah prinsip-prinsip dasar pendidikan yang dijalani. Kemudian dengan label itu, menjual sekolah dengan biaya selangit.

Hal yang sama mirip dengan sistem ketahanan pangan. Tren produk organik dan panganan sehat mewabah di mana-mana. Berbeda dengan sistem pendidikan alternatif yang banyak berbiaya mahal karena label itu, sistem produk pertanian organik masih masuk akal jika kita mesti membayar sedikit lebih mahal dari biasanya kini. Karena kita memang sudah dikepung produk pangan yang ditimbuni pupuk kimia sintetis.

Tak ada salahnya mengakui kesalahan kita, kemudian memperbaikinya. Bahwa pandangan primitif terhadap masyarakat adat itu betul-betul membenamkan kita dalam lumpur kenistaan. Kita salah. Dan mari perbaiki diri, paling sederhana, membuang pandangan-pandangan prihal primitif itu.

Kemudian kita bisa melanjutkan dengan menghormati cara dan pilihan mereka hidup dalam masyarakat adat. Pada akhirnya, kita bisa mengambil hal-hal baik dari tradisi dan kebudayaan yang mereka terapkan untuk pelan-pelan mulai kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak membuang sampah di sungai misalnya.