Menurut Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional ( BNN), Mufti Djusnir mengungkap, vape atau rokok elektrik sebenarnya bukan rokok tetapi racun. Informasi ini diadaptasi dari suara.com yang rilis pada Jum’at 26 Juni 2020. Pernyataan Mufti Djusnir ini dalam acara webinar Lentera Anak Jumat (26/06/2020).
“yang terjadi pada vape, orang yang sudah kecanduan cenderung sulit mengontrol penggunaan rokok elektrik, sehingga zat kimia dalam vape masuk tubuh berlebihan dan menjadi racun”.
“vape atau rokok elektrik tidak mengalami proses pembakaran sempurna, hanya dipanaskan lalu menjadi uap, dan uap itu diisap lalu masuk ke paru-paru, uap inilah yang akan bereaksi dalam paru”, ujar Mufti.
Menurut Mufti lagi, kebanyakan menggunakan vape mempunyai penyakit di area paru-paru. Selanjutnya itu dampak yang ditimbulkan juga berlipat ganda bahkan bisa menyebabkan kerusakan pada otak hingga gagal jantung.
Rencananya BNN akan melakukan pengawasan ekstra ketat pengguna vape hingga akar-akarnya. Menurut BNN, vape itu menggunakan cairan ekstasi.
Kepala BNN, Komisaris Jenderal Heru Winarko, mengatakan peredaran vape perlu ada pengawasan. “Karena banyak yang mengawasi (kementeriannya), perlu ada kluster sampai ke an user / pengguna,” kata Heru Winarko di ITB Bandung.
Menurut Heru Winarko, vape dan cairannya mayoritas impor. Jadi pengawasannya sangat penting karena belum ada standar mutu yang memperjelas produk tersebut layak dan tidaknya dikonsumsi masyarakat.
Karena ia, mengkhawatirkan para penjual yang bandel memasukkan cairan dengan zat narkoba tertentu ke liquid vape impor yang jumlahnya sekarang mencapai 80%, inilah yang perlu diawasi.
Selain itu, Widyastuti Soerojo ketua khusus pengendalian tembakau ikatan ahli kesehatan masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, rokok elektrik menjadi beban ganda konsumsi rokok.
Prevalensi perokok elektrik usia 10-18 tahun mencapai 10.9 persen hasil riset kesehatan dasar tahun 2018. Terjadi peningkatan tajam 1.2 persen berdasarkan survey indikator kesehatan nasional tahun 2016. Di lansir dari IDN Times.
“Penggunaan rokok elektrik pada anak-anak dan remaja dapat merusak otak bagian depan memiliki fungsi kognitif, pengambilan keputusan, dan memori,” kata Widyastuti.
Menurut Amaliya, Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) dan Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar) mengatakan penguna produk tembakau berupa rokok elektrik yang dipanaskan bukan tanpa resiko, ada resiko yang harus dipikirkan dan ditanggulangi.
Lagi-lagi tentang rokok elektrik, Kompas.com rilis 30 Juni 2020, memberitakan bahwa berdasarkan laporan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di tahun 2019. Prevalensi pelajar usia 13-15 tahun pengkonsumsi rokok elektrik mencapai 13.7 persen. Tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta.
Menurut Tati Suryati Peneliti Pusat Litbang SDPK- Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI menjelaskan, rokok elektrik menjadi tren para pelajar karena mudah didapat dan dianggap menarik.
“Tidak sedikit para pelajar mencampur dirokok elektriknya dengan bahan dasar narkoba dan sejenisnya jumlahnya mencapai 15.9 persen,” tutur Tati.
Dr Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) mengingatkan rokok elektrik bukan alternatif pengganti rokok konvensional. Sebab banyak penelitian terbukti rokok elektrik itu tidak akan membuat pengguna lebih baik, justru memiliki ancaman bahaya yang lebih besar.
“Pada cairan rokok elektrik atau vape sering dicampur dengan bahan kimia yang memicu keluhan sakit asma, dapat merusak paru-paru dan jantung serta dapat menyebabkan kanker”, tutur Sumarjati lagi.
Nah, kiranya dari review di atas bisa dipahami bahwa rokok elektrik bukan lebih menyehatkan, justru sebaliknya banyak membawa malapetaka timbulnya penyakit. Poduk rokok elektrik dan liquid mayoritas impor bukan asli buatan Indonesia. Sehingga sulit untuk mengontrol jaminan mutunya. Beda dengan rokok kretek asli buatan negeri ini, kontrol jaminan mutunya lebih mudah.
Rokok elektrik proses pembakarannya tidak sempurna, hanya dipanaskan lalu menjadi uap, inilah salah satu biang keladi menjadi bahan racun. Belum lagi, cairan liquid yang digunakan sudah melalui proses kimia dan berbahaya bagi tubuh. Beda dengan rokok kretek, hanya dengan bahan alami dan pembakarannya pun sudah melalui proses hitungan agar terjadi pembakaran sempurna.
Pada rokok kretek berbasis SNI, pastinya bentuknya konus, yaitu ujung pembakaran lebih besar dari ujung hisap, dengan ukuran diameter tertentu, fungsinya tak lain mendapatkan pembakaran yang sempurna. Ketika terjadi pembakaran sempurna antara senyawa yang mengandung TAR dan senyawa yang mengandung nikotin menyatu. Saat di hisap senyawa yang menyatu tersebut mantap dirasa dan menjadi obat. Bahkan bisa sebagai obat pencegah covid-19 atau corona, ini lah salah satu klaim tiga negara termasuk Israel.
Jadi vape itu elektrik bukan rokok, vape beda fungsi dengan rokok kretek, vape tidak lebih menyehatkan tapi sebaliknya, justru berbahaya. Vapelah penggerak perokok pemula, bukannya rokok kretek. Rokok kretek lebih menyehatkan, karena melalui proses pembakaran sempurna.