cukai
CUKAI

Campur Tangan Bank Dunia Terhadap Industri Hasil Tembakau Mengancam Kedaulatan dan Kemandirian Ekonomi Nasional

Kebijakan Industri Hasil Tembakau di Indonesia di dalamnya terdapat campur tangan kepentingan asing. Salah satunya datang dari Bank Dunia (World Bank) yang menyarankan pemerintah RI untuk meningkatkan cukai produk tembakau di tingkat nasional dan menyederhanakan struktur pajak tembakau.

Bank Dunia memang memiliki track record suka ikut campur tangan dalam kepentingan suatu negara. Bank Dunia melegitimasi kepentingan dengan barter pinjaman modal yang diberikan oleh mereka.

Indonesia tak luput dari cengkaraman Bank Dunia. Pada 7 Agustus 1947 presiden Bank Dunia, John J. McCloy, setuju untuk memberikan pinjaman sebesar US$195 juta dalam Proyek Rekonstruksi Pasca-Perang bagi kerajaan Belanda. Awalnya dana tersebut diniatkan untuk pemulihan ekonomi Belanda yang porak poranda karena perang. 

Tapi ternyata sebagian dana tersebut digunakan untuk melancarkan serangan militer di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, periode ini dikenal sebagai Agresi Militer I. Fakta ini diungkap oleh Bruce Rich dalam Mortgaging The Earth (1994) yang mencatat pinjaman Bank Dunia memberikan sumber daya bagi pemerintah Belanda yang dibutuhkan untuk melanjutkan program pemulihan ekonomi dan melancarkan perang skala besar di belahan dunia.

Pada periode selanjutnya Bank Dunia selalu menjadi ‘mitra’ strategis bagi pemerintahan Indonesia. Sang mitra ini tentunya banyak terlibat dalam kepentingan ekonomi nasional, seperti meliberalisasi ekonomi, memberikan hutang, hingga turut andil dalam krisis ekonomi tahun 1998.

Dalam konteks Industri Hasil Tembakau, saran Bank Dunia untuk meningkatkan cukai produk tembakau dan menyederhanakan struktur pajak tembakau kepada pemerintah Indonesia, akan mengancam kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional yang tercermin dalam Industri Hasil Tembakau.

Industri Hasil Tembakau merupakan industri yang menerapkan konsep kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional. Industri Hasil Tembakau menjadi industri yang menggerakan perekonomian nasional. Industri padat karya. Industri yang mandiri sebab sumber daya dari hulu ke hilir berasal dari dalam negeri.

Kenaikan cukai sendiri menjadi instrumen campur tangan kepentingan Bank Dunia terhadap Industri Hasil Tembakau di Indonesia. Kenaikan cukai akan mendesak turunnya omzet pabrik rokok, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan menjalankan bisnisnya. 

Jika kondisi pabrikan sudah megap-megap, maka perusahaan farmasi multinasional sudah siap untuk mengakuisisi bisnis tembakau untuk dikendalikan. Inilah sebenarnya maksud dari tujuan pengendalian tembakau.

Kenaikan cukai juga akan memukul sektor pertanian, dikarenakan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh dari pabrikan ke petani akan turun drastis. Imbas kenaikan cukai di tahun 2020 saja sudah terlihat terjadinya penurunan permintaan tembakau dari pabrikan ke petani hingga 30 persen, sementara untuk permintaan cengkeh penurunannya sebesar 40 persen.

Dampak dari berkurangnya serapan tembakau dan cengkeh adalah jatuhnya komoditas pertanian strategis Indonesia. Kita sudah pernah punya sejarah jatuhnya komoditas strategis nasional seperti kopra dan garam akibat campur tangan kepentingan asing. 

Selain kenaikan cukai, penyederhanaan struktur pajak tembakau atau simplifikasi cukai juga berakibat kepada terancamnya pabrikan kecil dan hanya menguntungkan pabrikan besar. Hal ini akan memunculkan karakter pasar oligopolistik. Yang besar akan semakin besar, sementara yang kecil akan gulung tikar satu persatu. 

Permintaan Bank Dunia untuk menaikkan cukai dan penyederhanaan struktur pajak tembakau tentu tak boleh dituruti begitu saja. Namun juga bukan hal mudah menolak permintaan Bank Dunia, sebab Indonesia tersandera dengan hutang yang menumpuk. Dalam hal ini kita jadi ingat dengan slogan yang pernah digaungkan oleh Soekarno ketika hendak mengusir Bank Dunia untuk tidak campur tangan kepada Indonesia “Go To Hell With Your Aids”.