REVIEW

Eric Cantona, Rokok, dan Kemerdekaan

Tiba-tiba saya kembali mengingat pesepak bola menyebalkan yang pernah saya ketahui di era 90an. Namanya adalah Eric Cantona, pria asal Prancis yang bermain untuk klub yang paling saya benci, Manchester United. Lelaki dengan julukan King itu sungguh arogan. Akan tetapi Ada hal yang di kemudian hari sedikit mengubah cara pandang saya terhadapnya.

Pada salah satu hari di Agustus lalu saya menahan kantuk untuk menunggu tayangan streaming drawing Liga Champions. Rupanya ada Eric Cantona di sana mengisi pidato pembuka bak acara formil di berbagai kantor kementerian di Indonesia. Begitu kesal saya karena harus melihat dirinya berbicara.

Dengan menggunakan baju merah muda dan topi pet serta kacamata yang menggantung di kerah baju, Eric Cantona memasuki panggung. Gayanya tak lagi sama seperti kalau menendang penonton Crystal Palace beberapa tahun lalu. Dia kini lebih nampak layaknya seorang filusuf, yang dari mulutnya bisa mengeluarkan kalimat-kalimat bijak dan mempesona.

Betul saja, bait-bait indah benar-benar mengalun dari mulutnya. Ia menyebut bahwa kemajuan sains dapat membuat manusia menjadi kekal dan hanya kecelakaan, kejahatan, dan perang, yang masih akan membunuh manusia. “Saya suka sepak bola,” begitu kutipannya menjadi penutup pidatonya malam itu.

Rupanya dahsyat benar Eric Cantona ini, itulah kalimat yang keluar dalam gumamku. Sebagai pesepakbola dirinya penuh dibalut kontroversi. Meski trofi mentereng menghiasi kenangan masa lalunya saat bermain di Inggris, sayangnya ia tak pernah mencicipi piala dunia. Bayangkan, seorang pemain hebat dari negara yang sepakbolanya maju tapi tak pernah merasakan bermain di ajang hebat dunia?

Di era itu banyak pesepak bola yang tak malu menunjukkan identitasnya sebagai seorang perokok. Memang tak ada foto yang menampakkan King Eric muda merokok. Justru foto dirinya merokok tersebar banyak saat ia menua. Ia nampak lebih elegan dengan rokok di tangan. Wibawanya kian keluar, lebih dan lebih saat memegang rokok ketimbang saat dirinya membusungkan dada usai mencetak gol.

Suatu saat Eric Cantona pernah berpendapat tentang rokok. Ia menjawab pertanyaan seorang wartawan terkait dirinya yang memerankan peran dalam film sebagai seorang detektif Forgeat yang kebetulan seorang perokok.

Jawabannya sungguh hebat. Eric Cantona menyebut bahwa merokok adalah upaya proses manusia untuk memerdekakan diri. Dari merokok dia tahu bahwa detektif Forgeat mampu menjadi manusia yang bebas seutuhnya tanpa ada gangguan. Selama ini manusia hidup akan gangguan-gangguan yang acapkali mengguncang diri jika tidak mampu ditangani dengan baik. Begitu juga dengan para perokok yang harus berbenturan dengan stigma-stigma.

“Bagi saya, saya tidak suka kalau ada terlalu banyak gangguan dalam hidup kita. Kita bukan anak-anak. Ini adalah hidup kita sendiri yang garisnya ada di tangan kita,” begitulah apa yang disampaikan seorang King Eric saat diwawancarai oleh Kevin EG Perry.

Dari Eric Cantona sebenarnya kita dapat mempelajari makna kebebasan sebagai perokok. Jatidiri itu nampaknya mulai sulit untuk ditunjukkan setelah pola pikir di masyarakat terhegemoni dengan kampanye-kampanye bahaya merokok. Faktanya, banyak kampanye-kampanye tersebut yang sesat. Membiarkan kesesatan itu lama-lama pun akan membelenggu kita.

Sudah saatnya melawan dengan cara apa pun yang kita bisa. Selemah-lemahnya iman, kita bisa memulai dengan apa yang Eric Cantona sebut. Bahwa merokok adalah bagian dari pembebasan dan memerdekakan diri dari belenggu. Maka, jangan malu untuk tunjukkan jati dirimu sebagai perokok. Merdeka!