Pukul 08.25 Tedy datang sendirian.
“Dimana Ridwan?” tanya Mimi.
“Eh tadi di belakangku kok, dia menginap di kontrakanku karena takut kesiangan. Harusnya sih udah sampe sekarang.” Tedy melepaskan jaketnya dan melenggang meninggalkan Mimi menuju pantry.
“Untung aku ngajak klien rapat jam 09.00, karena aku tahu salah satu dari kalian pasti akan seperti ini.” Kata Mimi. Ia agak kesal.
“Sabar lah sedikit Mi, kamu seperti baru kenal kami. Kita tunggu saja sebentar. Toh belum pukul 09.00.” kata Ina mencairkan suasana yang mulai menegang.
Pukul 08.50 Pak Hendra dan rekan-rekannya datang. Rapat dimulai tanpa Ridwan padahal ia yang memegang kendali lokasi dan area mana yang akan mereka tuju terlebih dahulu. Untung saja Mimi tidak asing dengan wilayah tersebut, jadi ia bisa memegang kendali rapat hari ini meski dengan perasaan sedikit dongkol.
Rapat usai pukul 11.20. Mereka berencana keluar untuk istirahat dan makan siang.
Tiba-tiba ponsel Mimi berbunyi.
“Calling .. Ridwan”
Mimi buru-buru menekan logo telepon berwarna hijau pada ponselnya.
“Halo, Mbak Mimi ya?” terdengar suara dari seberang bukanlah suara Ridwan.
“Iya benar, saya Mimi.” Jawab Mimi pendek.
“Saya menemukan HP ini. Pemiliknya mengalami kecelakaaan. Tadi korban tabrak lari. Sekarang ia berada di ICU bersama saya.” Ucap Rudi.
“Apa ada keluarga yang bisa datang kemari?” lanjutnya.
“Ia perantau mas, keluarga jauh dari kota ini. Saya yang akan datang.” Balas Mimi.
“Kalau begitu saya tunggu ya, Mbak.” Kata Rudi lagi.
“Baik Mas, kami akan segera datang, tolong kirim lokasi Rumah Sakit ya. Ohya, dengan siapa ini?” tanya Mimi.
“Rudi, Mbak.” Balas Rudi lagi.
“Terima kasih Mas Rudi.” Mimi menutup pembicaraan dan mematikan ponselnya.
“Ina, tolong reservasi tempat makan dan temani klien makan siang dulu ya. Nanti aku menyusul. Ridwan tadi pagi kecelaan. Baru saja seseorang memberiku kabar.” Beber Mimi.
“Aku ikut ya, Mi” kata Tedy.
“Oke Ted, aku ambil jaket dulu ya.” Balas Mimi cepat sambil mengambil jaket dan tas di ruangannya.
Tak berselang lama, Mimi dan Tedy tiba di Rumah Sakit dan menemui Rudi. Rudi pun menceritakan kronologi kecelakaan Ridwan. Ia mengatakan bahwa Ridwan merupakan korban tabrak lari sebuah mobil mewah berwarna merah yang melaju cepat dari arah yang berlawanan.
Namun sayang mobil itu terlanjur melaju jauh saat Rudi berusaha mengikutinya.
Ridwan mengalami patah tulang kaki, beberapa tulang rusuknya remuk dan kepalanya terkena benturan keras. Ridwan masih terbaring.
Kondisinya masih lemah. Motornya rusak parah.
Dokter berkata bahwa ia harus segera dioperasi. Namun perlu menunggu persetujuan keluarganya dan tentu saja harus ada penanggung jawab administrasi selama ia dirawat di Rumah Sakit ini.
Usai kepergian Adam yang menyebalkan itu. Urusan keluarganya yang belum juga usai. Lalu ekpedisi yang mesti tertunda karena musibah ini. Pikiran Mimi kembali kacau balau. Secara langsung, ia harus memikirkan bagaimana caranya membayar administrasi Rumah Sakit Ridwan karena ia pemimpin tempat dimana Ridwan bekerja. Secara tidak langsung, ia harus memikirkan bagaimana caranya kehidupannya terus berjalan di tengah masalah yang sedang ia hadapi saat ini.
“Cobaan apa lagi ini ya Tuhan ?” ratap Mimi pelan.
“Saya pamit dulu ya, harus kembali ke kantor. Ohya, maaf tadi saya buka-buka HP korban, saya menemukan banyak berkas atas nama Mimi. Foto dengan folder berjudul “Mimi”, catatan dengan judul “Mimi”, bahkan nomor darurat juga dengan nama “Mimi”. Jadi saya pikir Mbak Mimi orang terdekat korban.” Kata Rudi memecah suasana.
“Silahkan Mas. Terima kasih banyak.” Ucap Tedy sambil menjabat tangan Rudi.
“Terima kasih ya, Mas.” Mimi bangun dari kursi menjabat tangan Rudi juga sebelum ia berlalu meninggalkan Mimi dan Tedy berdua.
“Kenapa banyak data tentangku? Ada folder dengan namaku?” batin Mimi.
“Apa jangan-jangan Ridwan ….” belum usai ia berangan-angan, Tedy memanggilnya.
“Mi, ayok makan siang. Ina menunggu di tempat biasa.” Ucap Tedy.
Bersambung ..