Pak Parjo berangsur pulih. Kesehatannya mulai meningkat. Ia mulai berkeliling kebun yang rencananya akan ia jual dan bangun pabrik. Meski sudah mulai menengok kebun, ia belum berkeinginan menemui Mandor Isa, bahkan ia berusaha mengindar apabila Mandor Isa menghubunginya. Setidaknya sakit kemarin, menjadi alasan ia tak menemuinya meski hanya beberapa hari dan itu terasa sangat sebentar.
###
Di lain tempat.
Untuk mencari kegiatan pengganti karena ekspedisi ditunda, Srintil atau Mimi menawarkan kepada perusahaan rokok lokal membuat teaser melalui media sosial dan web yang mereka miliki untuk memperkenalkan produk yang ditawarkan. Pihak Pak Hendra menyetujuinya karena beliau juga ingin melihat segmen pasar online.
Srintil, Ina, dan Tedy berbagi tugas dalam membuat artikel. Mereka membagi rubrik menjadi beberapa, antara lain: opini, liputan, iklan, komik, parodi, dan lain-lain.
Srintil meminta Ina membuat headline dan meminta Tedy membuat desain semenarik mungkin. Meski Ridwan masih terbaring lemah, Srintil mengambil beberapa foto dari komputer kantor. Ridwan menyimpan beberapa foto dalam sebuah folder yang telah mereka siapkan untuk perusahaan rokok lokal tersebut. Begitu beberapa tulisan telah dikurasi, maka mereka siap melaunchingnya.
Yang namanya orang mencari ide, pasti ada juga buntu-buntunya. Begitu pula dengan Srintil dan kawan-kawan. Mereka kehabisan ide apalagi yang akan dikerahkan selama promosi biar nggak jadi promosi yang itu-itu aja.
Srintil tiba-tiba teringat sahabatnya, Adam. Adam tentu lebih paham mengenai media. Ia lalu mengirimkan e-mail kepada Adam, menanyakan kabar, sedikit berbasa-basi lalu menyampaikan maksud dan tujuan ia menghubungi Adam. Ia ingin Adam memberikan saran berupa kritik tulisan maupun ide konten video agar tidak monoton.
Setelah mendapat beberapa masukan dari Adam, akhirnya Srintil memutuskan untuk mengerjakan beberapa tulisan di sebuah kedai kopi. Di tempat tersebut Ia memilih tempat duduk di area merokok, agar ia bisa dengan bebas merokok pula. Namun sial, karena terburu-buru ia lupa membawa korek. Ia meminjam kepada waiters, namun sayang tidak ada yang memiliki korek api karena sebagian waiters tidak merokok dan sisanya kini menggunakan vape. Ia memutuskan untuk keluar sebentar ke warung membeli korek. Akhirnya ia kembali dan segera menyalakan rokoknya. Baru saja ia menghisap 2 kali rokoknya, seorang ibu agak tua menegurkan, ia bilang bahwa asap dari rokoknya kemana-kemana. Ibu itu juga menambahi pula, kenapa Srintil merokok, padahal ia seorang perempuan.
Srintil heran. Apanya yang aneh, batinnya. Bahkan seluruh laki-laki di ruangan ini termasuk (mungkin) suami ibu tersebut juga merokok, tapi tak seorangpun ia tegur. Lagi pula dengan merokok, Srintil merasa idenya mengalir begitu cemerlang, tulisannya bisa lepas begitu saja
Merokok membuatnya merasakan sebuah hak yang terpenuhi dengan bahagia. Tanpa memandang ia laki-laki atau perempuan (seharusnya).
Srintil ingin marah pada ibu tersebut, tapi ia enggan. Mungkin ibu itu tidak mengalami apa yang ia rasakan. Srintil juga tak peduli. Srintil hanya merasa miris bahwa justru sesama perempuan lah yang menegurnya ketika ia melakukan suatu tindakan yang dianggap salah.
Inilah alasan kenapa Srintil kekeuh mempertahankan perkebunan kakeknya, hal ini pula yang membuatnya terus berkontribusi pada media, menyuarakan hak-hak kaum marjinal.
Ia tak ingin, takdirnya menjadi perempuan mengkungkung hak dan keinginannya. Memaksanya menerima keadaan dan tergerus zaman. Ia akan tetap menjalankan kodradnya sebagai perempuan, menjaga kehormatan, menjadi tauladan, namun bukan menjadi kaum yang tertindas.
###
Di hari yang sama, Mandor Isa mendatangi kediaman keluarga Srintil. Maksud hati ia ingin menjenguk Ayah Srintil yang katanya sakit. Namun, jika memang bisa melakukan lebih dari satu hal dalam sekali waktu, kenapa tidak?
“Bagaimana kabar Pak Parjo?” tanya Mandor Isa saat dipersilahkan duduk.
“Baik Mandor Isa,” kata Ayah Srintil.
“Lalu bagaimana rencana kerja sama kita?” kejar Mandor Isa tanpa basa-basi.
“Saya pikirkan kembali ya,” Ayah Srintil berusaha mengelak.
“Dipikirkan kembali, katamu? Apa tawaranku kemarin tidak lebih dari cukup?” Kata Mandor Isa sedikit mengeraskan suaranya.
“Saya harus mempertimbangkannya lagi,” kata Ayah Srintil kemudian setelah beberapa saat hening.
“Kalau begitu pertimbangkan lah dengan baik. Jangan lupa, separuh hidup kamu dahulu saya yang tanggung.” Kata Mandor Isa dengan nada sedikit mengancam.
Mandor Isa lalu berpamitan.
###
“BRUKKKKKK PRANGGGGG PYARRRRRRRR”
Tanpa sengaja saat Srintil berdiri, ada seorang pelayan yang sedang lewat, karena terburu-buru ia tak melihatnya. Beruntung si pelayan menyuruhnya untuk pergi saja karena ini adalah tanggung jawab restoran. Srintil pun bisa bernapas lega dan ia berlalu meninggalkan pecahan kaca, yang sebagian menancap dilengannya …
Bersambung …