Pemerintah melalui Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 mencanangkan kenaikan cukai rokok di tahun 2021. Rencana menaikkan cukai di tahun depan tentunya merupakan rencana yang kontraproduktif bagi kondisi perekonomian di Indonesiaan. Kebijakan ini akan menambah keterpurukan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Kenaikan cukai rokok di tahun ini saja sudah membuat rakyat sengsara, pasalnya persentase kenaikan cukai sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% pada tahun ini dinilai tidak sesuai dengan kondisi perekonomian. Besaran kenaikan yang sangat tinggi tidak memperhitungkan kondisi daya beli masyarakat serta beban berat yang sedang dihadapi oleh industri.
Sejak 2019 kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang mengalami stagnansi. Di industri sendiri, volume produksi dan penjualan terus mengalami penurunan hingga 7%.
Imbas dari kenaikan cukai tahun ini dapat menyebabkan penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-25%. Hal ini disebabkan karena kemampuan daya beli masyarakat tidak sanggup memikul beban konsumsi rokok mereka. Di lapangan sudah terbukti fenomena downgrade konsumsi rokok masyarakat ke rokok murah. Parahnya lagi, pandemi covid-19 menghajar habis-habisan perekonomian masyarakat, dapat dilihat dari terus bertambahnya korban PHK.
Adanya demand shock seperti ini selain daripada menghajar omzet pabrikan juga berimbas kepada sisi penyerapan bahan baku dari petani oleh pabrikan yang sudah berkurang di tahun ini. Permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Tentunya dari penurunan omzet akan berefek kepada serapan bahan baku karena industrinya berjalan lesu, produksi akan berkurang.
Setoran cukai mungkin masih terlihat lancar seperti biasanya, tentu karena pemerintah tak mau tahu soal kondisi-kondisi yang terjadi di atas. Jika melihat faktanya sebenarnya yang terjadi, industri dan masyarakat sedang porak-poranda akibat penerapan kebijakan cukai ditambah kondisi Covid-19 sekarang ini.
Rencana kenaikan cukai rokok yang tertera pada Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 sangat berbahaya ke depannya. Pada resesi ekonomi di suatu negara akan berdampak pada kemiskinan dan pengangguran. Hal itu terjadi lantaran banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan.
Di tahun ini sendiri Indonesia sedang dihantui dengan resesi ekonomi. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 akan kontraksi dikisaran minus 3,5 persen hingga minus 5,1 persen, dengan titik tengah di minus 4,3 persen. Imbas dari resesi ini adalah penurunan aktivitas ekonomi nasional yang berdampak langsung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh sebagian besar sektor usaha.
Sejak pandemi Covid-19 per 27 Mei 2020 Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sedikitnya 3,06 karyawan di Indonesia menjadi korban PHK (pemutusan hubungan kerja). Mereka bekerja di berbagai sektor usaha.
Kesuraman ini akan terus berlanjut mengingat pemerintah belum bisa menangani persoalan pandemi Covid-19, dan entah sampai kapan pandemi terus berlangsung di Indonesia. Maka kita dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia akan terus mengalami gejolak dan ketidakpastian.
Jika kondisinya sudah sesuram itu, maka kebijakan menaikkan cukai adalah kebijakan yang blunder dan kontraproduktif. Konsumen akan tercekik karena tidak punya daya beli yang mumpuni, akhirnya industri hasil tembakau akan tumbang karena mengalami penurunan penjualan yang luar biasa, sehingga mereka tidak punya pilihan lagi untuk menutup bisnis mereka.