rokok
OPINI

Ketika Membicarakan Rokok Para Antirokok Mengubah Kemungkinan Menjadi Fakta

Ungkapan ‘apa pun masalahnya, rokoklah penyebabnya’ kian relevan usai saya membaca berita tentang saling pinjam korek api menjadi sebab tertularnya virus korona. Berita itu memang tidak menyebut langsung kata ‘rokok’ dalam judulnya, tetapi saling pinjam korak api tentu saja terkait langsung dengan aktivitas merokok.

Berita yang tayang di situsweb tempo.co itu dibuka dengan paragraf: “Suka meminjam korek api atau pemantik rokok berpotensi meningkatkan penyebaran wabah virus corona bagi perokok. Penyebaram virus corona melaluo pemantik rokok terjadi di Australia.”

Kabar yang baru sekadar dugaan ini diolah oleh tempo pada paragraf pertama seakan ia adalah sebuah fakta yang sudah bisa dipastikan kebenarannya. Mengapa baru sekadar dugaan, di paragraf-paragraf selanjutnya dalam berita itu memang tertulis begitu.

Dugaan penyebaran virus korona via saling pinjam korek api bermula dari kasus yang terjadi di hotel Stamford Plaza Melbourne. Hotel yang selama masa pandemi korona difungsikan sebagai lokasi karantina bagi mereka yang baru kembali dari luar negeri ini, mencatat kasus baru adanya staf hotel yang tertular virus korona.

Menurut Menteri Negara Bagian Victoria, Daniel Andrews, penyebaran virus korona di kalangan pekerja hotel Stamford Plaza Melbourne mungkin berasal dari staf yang berbagi dan saling meminjami korek api untuk merokok. Masih menurutnya lagi, karena sejauh ini tidak ada kasus baru dari mereka yang baru kembali dari luar negeri.

Sampai di sini, mari kita perhatikan baik-baik pernyataan Daniel Andrews pada bagian ini: “penyebaran virus korona di kalangan staf hotel mungkin berasal dari staf yang berbagi dan saling meminjami korek api untuk merokok.” Ada lema ‘mungkin’ dalam pernyataannya, sekali lagi, ‘mungkin’.

Semua kita yang sehari-hari berbahasa Indonesia, tentu paham maksud dari lema ‘mungkin’ pada kalimat yang dikeluarkan Andrews. Lema ‘mungkin’ digunakan untuk menyatakan keraguan, untuk menyatakan sesuatu yang belum ada kepastian di sana, belum bisa dipastikan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online seri V, kata ‘mungkin’ didefinisikan sebagai: tidak atau belum tentu; barangkali; boleh jadi; dapat terjadi; tidak mustahil. Karena masih belum tentu, masih boleh jadi dan masih barangkali, lema ‘mungkin’ jelas bukan sebuah kepastian yang ajek, sebuah ketetapan yang tidak bisa berubah.

Sayangnya, apa yang ‘mungkin’ itu sudah diolah sedemikian rupa sehingga judul berita yang dinaikkan tempo.co yang berbunyi ‘Suka Saling Meminjam Korek Api, Awas Tertular Virus Korona’ seakan sudah memberi kepastian bahwa saling meminjam korek api bisa menyebabkan penularan virus korona. Penekanan kata ‘Awas’ dalam judul semakin membikin menakut-nakuti pembaca, sekali lagi, padahal ia baru sekadar kemungkinan, seperti kemungkinan-kemungkinan lainnya yang itu berbeda dari sebuah kepastian.

Iya, memang ada kemungkinan virus korona bisa menempel di korek api dan tertular ke orang yang memegang korek api itu lantas memegang bagian-bagian tertentu di wajahnya seperti hidung, mulut, dan mata, tetapi sekali lagi itu hanya kemungkinan, dan kemungkinan itu kecil sekali jika kita mau sedikit mencari tahu dengan membaca informasi-informasi ilmiah dari pakar virologi, ahli biologi, ahli epidemi, yang banyak beredar di internet. Terlalu panjang tulisan ini jika saya menyertakan data-data ilmiah itu di sini, silakan cari sendiri.

Sekarang, sebagai penutup, saya ingin kembali ke paragraf awal tulisan ini, bahwa upaya menyerang rokok, dan menyeret-nyeret rokok menjadi sebab bermacam hal yang mencelakakan, sudah lumrah, lazim dilakukan banyak pihak yang berkepentingan untuk menggembosi rokok. Sejak wabah virus korona menjadi pandemi di muka bumi, ini bukan kali pertama terjadi, rokok dan aktivitas di sekitarnya ikut dikaitkan secara langsung dalam pandemi ini.

Tenti Anda masih ingat hipotesis yang menyebutkan bahwa perokok lebih rentan terserang virus korona. Hipotesis ini terus digaungkan dan disebarluaskan seakan ia sudah berubah menjadi tesis, bukan lagi hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya. Padahal, fakta yang tersaji di lapangan, dan sudah dilakukan proses penelitian setidaknya di enam negara di bumi, bahwa perokok lebih tahan terhadap serangan virus korona, diabaikan dan dianggap angin lalu saja.

Di Indonesia, ketika beberapa pekerja di salah satu pabrikan rokok terserang virus korona, kabar yang disiarkan diperbuas dan dibesar-besarkan hingga jauh dari esensi awal. Salah satu kabar yang diperbuas itu menyebut bahwa produk rokok dari pabrikan itu mengandung virus korona. Semakin tidak masuk akal saja serangan terhadap rokok ini.

Bagi banyak orang awam, fenomena ini membikin panik dan membawa ketakutan berlebihan. Sedang bagi sebagian kecil orang yang sudah paham bagaimana para anti-rokok membingkai sebuah rumor dan kemungkinan-kemungkinan seakan sebagai fakta yang sudah pasti kebenarannya, ini tak lebih dari guyonan yang sama sekali tidak lucu.