sigaret kretek tangan
OPINI

Pentingnya Pelestarian Sigaret Kretek Tangan

Merokok sigaret kretek tangan (SKT) saat ini seringkali dianggap kuno atau dibilang seperti kakek-kakek. Padahal sejatinya SKT merupakan produk yang paling khas dari varian produk kretek lainnya. Terbentuknya entitas kretek berawal dari SKT.

Sigaret kretek tangan merupakan kretek yang diproduksi manual oleh buruh linting. Umumnya tak memakai filter, dan orang sering salah kaprah menyebutnya ‘rokok kretek’ karena tiadanya filter ini. Rokok yang dibuat lewat tangan berbentuk konus atau jirus, kecil pada bagian hisap dan makin membesar pada bagian ujung bakar.

Selain unik dan khas, SKT juga mempunyai peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada SKT sebesar rata-rata 85% dari seluruh industri rokok. Serapan tenaga kerja yang besar dikarenakan SKT merupakan industri yang padat karya, produksinya masih dilakukan secara manual lewat tangan-tangan buruh linting.

Para buruh linting ini didominasi oleh perempuan. Sudah menjadi tradisi sejak dahulu, perempuan yang bekerja sebagai buruh linting. Posisi perempuan dalam ketenagakerjaan di produksi SKT membuat perempuan memiliki kemandirian ekonomi dalam rumah tangga. 

Kini SKT sedang mengalami ancaman serius, saat ini tren produksi dan konsumsi Sigaret Kretek Tangan (SKT) sedang mengalami penurunan. Produksi SKT sendiri sejak periode 2011 sampai 2019 terus menurun sebesar 5,5% per tahun.

Tren penurunan produksi ini disebabkan oleh 2 hal: pertama karena pangsa pasar SKT yang terus menurun pada 2012 sebesar 29% dan kini hanya mencapai 18%. Bukan tidak mungkin pangsa pasar SKT ini akan terus menurun di tahun-tahun berikutnya.

Berkurangnya pangsa pasar SKT karena adanya pergeseran selera konsumen dari rokok SKT menuju rokok SKM dapat dilihat dari data tahun 2004,  yang memperlihatkan pangsa pasar rokok SKM dan SKT masing – masing sebesar 56% dan 37%. Lalu hanya dalam kurun waktu 11 tahun, pada tahun 2015 pangsa SKM dan SKT berubah menjadi 75% dan 19%.

Banyak analis yang mengatakan, pergeseran tren konsumsi ini utamanya disebabkan oleh meningkatnya minat konsumen (terutama konsumen muda) terhadap varian baru SKM yaitu SKM-LTLN yang dipelopori (dan masih dikuasai) oleh Sampoerna A Mild.

Penyebab kedua dari penurunan produksi ini adalah kebijakan pemerintah. Tidak ada satu pun kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan terhadap SKT. Dimulai dari kenaikan cukai yang eksesif menyebabkan produsen SKT tidak mampu lagi bertahan. Perlu dicatat, produsen SKT didominasi oleh pabrikan-pabrikan kecil. Bahkan dulu produsen SKT banyak yang industri rumahan.

Peraturan pemerintah yang pernah memukul produsen SKT skala industri rumahan adalah ketika diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 200 yang mewajibkan batas luas usaha minimal 2.000 m2. Padahal pada peraturan sebelumnya, PMK No 75 luas usaha yang diwajibkan minimal 50 m2. 

Setelah terbitnya peraturan tersebut Gabungan Pengusaha rokok (Gapero) mencatat hampir 50 persen pabrik rokok kretek terpaksa gulung tikar. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perubahan luas lokasi usaha.

Jadi dalam hal terjadinya penurunan produksi SKT, pemerintah turut andil di dalamnya, artinya pemerintah juga bertanggung jawab terjadinya kepunahan SKT. Pemerintah seharusnya melindungi SKT dari kepunahan bukan malah mempercepatnya.

Belum ada kata terlambat untuk melestarikan SKT di Indonesia. Untuk memperbesar pangsa pasar tentu sangat sulit, tapi untuk menjaga dan melestarikannya banyak upaya yang bisa dilakukan.

Pertama, pemerintah harus membebaskan sektor SKT dari beban cukai yang tinggi. Ini dapat menjadi stimulus yang baik bagi pabrikan kecil untuk terus bertahan dalam kegiatan produksi mereka. Selain itu beban cukai yang tidak tinggi juga dapat menjaga disparitas harga SKT dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan rokok putihan. 

Kedua, pemerintah harus membuat regulasi khusus terkait dengan perlindungan SKT. Regulasi ini nantinya dapat menjadi payung hukum dalam hal perlindungan SKT, bisa dengan menjadikan SKT sebagai heritage atau warisan budaya tak bendawi.

Ketiga, pemerintah mensupport komunitas konsumen SKT agar konsumen SKT tetap stabil. Selama ini komunitas konsumen dibentuk oleh pabrikan, namun tidak spesifik menyasar konsumen SKT. Pemerintah dapat membantu support dengan menyediakan ruang-ruang untuk berkumpul dan berekspresi.

Jika ketiga hal tersebut dilakukan dengan cepat, maka peluang untuk melestarikan SKT di Indonesia jadi lebih besar. Langkah-langkah pelestarian ini menjadi penting, karena kalau bukan kita siapa lagi?