logo boleh merokok putih 2

Perubahan Pola Konsumsi Rokok Usai Kenaikan Cukai

cukai

Kenaikan cukai di tahun ini yang bagi kebanyakan orang angkanya tidak masuk akal, membikin pola konsumsi rokok berubah cukup signifikan. Harga rokok pabrikan yang biasanya dikonsumsi para perokok, melambung tinggi usai kenaikan cukai berlaku pada 1 Januari di tahun ini.

Ibarat alat timba, cukai mengerek harga rokok cukup tinggi. Imbasnya, banyak perokok yang beralih dari produk-produk rokok premium yang sebelumnya sudah berharga cukup mahal, semakin mahal usai kenaikan cukai.

Ada tiga pola perubahan konsumsi rokok usai kenaikan cukai yang angkanya lebih dari 20 persen di tahun ini. Pola perubahan pertama, para perokok berpindah produk rokok dari yang sebelumnya mengonsumsi rokok premium ke rokok-rokok kelas dua yang harganya lebih murah.

Pola kedua, para perokok beralih dari mengonsumsi rokok pabrikan ke rokok tingwe atau linting dewe. Membeli tembakau rajangan dan kertas gulung sesuai dengan selera mereka. Ini jelas jauh lebih murah dan lebih hemat dibanding membeli rokok pabrikan, baik itu kelas premium atau kelas dua. Pola ketiga, para perokok benar-benar berhenti merokok. Pola terakhir ini, yang paling sedikit di antara ketiganya.

Pandemi korona yang berimbas terhadap krisis ekonomi di negeri ini, dengan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya, pengusaha yang ambruk usahanya, kian mempengaruhi pola konsumsi rokok masyarakat. Kondisi keuangan yang kian buruk dan kebutuhan merokok yang tetap mesti dipenuhi membikin para perokok bersiasat dengan lincah agar tetap bisa menikmati rokok.

Meledaknya konsumsi rokok tingwe di kalangan perokok belakangan ini, menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati pemerhati industri rokok seperti saya ini. Semasa pandemi korona ini, saya memang sebelumnya kesulitan mengamati bentuk perubahan konsumsi rokok dari rokok produk pabrikan ke rokok tingwe. Ini tentu saja karena anjuran pemerintah yang sebaiknya di rumah saja, dan larangan berkumpul dalam jumlah orang yang terlalu besar. Di rumah saja, dan tidak ada kumpulan banyak orang yang bisa saya amati, saya tidak tahu banyak pola perubahan konsumsi rokok di kalangan perokok.

Saya pada akhirnga bisa mulai kembali mengamati perubahan ini setelah pelonggaran-pelonggaran protokol penanganan korona. Beberapa kali saya bisa keluar rumah. Salah satu yang saya amati ketika keluar rumah, di Yogya, setidaknya selama dua pekan belakangan ini saya melihat ada tujuh kios baru yang menjual tembakau rajangan dari berbagai daerah, lengkap dengan cengkeh dan ragam rupa kertas lintingnya.

Itu baru di sekitar Yogya bagian utara. Dan saya yakin, di wilayah timur, barat, dan selatan, ada kios-kios tembakau tingwe yang mulai menjajakan dagangannya. Dan fenomena ini tentu saja baru permulaan, belum selesai. Masih akan ada kios-kios tembakau tingwe baru yang akan memulai usahanya di seantero Yogya. Dan saya yakin di kota lain juga seperti itu.

Saya kira, fenomena mulai berdirinya kios-kios tembakau tingwe ini, memiliki kemiripan dengan ramainya pendirian kedai-kedai kopi setidaknya selama lima tahun belakangan di banyak kota di negeri ini. Jumlahnya tentu tidak akan sebanyak kedai-kedai kopi, tapi polanya mirip, dengan tingwe menjadi gaya hidup baru di kalangan anak muda yang merokok.

Ini baru kios-kios fisik. Toko-toko online yang menjual tembakau tingwe dan segala macam perlengkapan tingwe lainnya, juga mulai bergeliat. Jumlahnya, jauh lebih banyak dibanding kios-kios fisik tingwe yang mulai berdiri. Saya coba memantau fenomena toko online yang menjual tembakau ini di pasar online lewat grup-grup facebook dan grup-grup whatsapp. Jumlahnya sulit saya hitung dan identifikasi. Yang jelas, lebih banyak dari toko fisik yang mulai berdiri.

Pabrikan-pabrikan rokok, tentu saja tak tinggal diam melihat fenomena ini. Mereka mulai banyak mengeluarkan produk-produk rokok baru dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Tentu saja ini untuk memenuhi permintaan pasar yang berubah terkait kemampuan ekonomi mereka.

Negara, lewat kebijakan cukainya yang ngawur dan hanya mementingkan pemasukan mereka, lewat skema menaikkan cukai sesungguhnya juga ingin menekan konsumsi rokok di negeri ini, sesuai pernyataan menteri keuangan dan menteri kesehatan usai cukai dinaikkan. Tetapi, para perokok, tak kehilangan akal, tak kehabisan kreativitas.

Pola perubahan ini, selain membuka pasar baru perdagangan tembakau di negeri ini, juga menguntungkan banyak pihak. Ya petani, pedagang baru, dan tentu saja para perokok yang tetap bisa merokok dengan harga yang masih cukup terjangkau, dan kualitas rasa yang masih cukup terjamin.

Negara boleh jumawa lewat kuasa yang mereka punya dengan menaikkan cukai rokok seenak perutnya, tapi perokok, tak akan kehabisan akal untuk bisa menikmati aktivitas merokok yang rekreatif dan relaktatif dengan harga yang terjangkau. Perokok kok dilawan!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)