logo boleh merokok putih 2

Rokok Memang Penyebab Kemiskinan

Dalam setahun, Badan Pusat Statistik (BPS) di negeri ini mengeluarkan dua kali hasil survey mereka. Biasanya pada bulan Maret dan bulan September. Ada banyak data hasil survey yang dikeluarkan BPS pada Maret dan September itu, mulai dari jumlah penambahan jumlah penduduk, jumlah kematian, tingkat konsumsi masyarakat, hingga jumlah penduduk sejahtera, menengah, dan pra sejahtera di negeri ini, semuanya ada datanya.

Faktor-faktor penyebab kemiskinan di negeri ini, juga tercantum dalam rilis yang dikeluarkan oleh BPS dua kali setahun itu. Dan selalu, dalam beberapa tahun belakangan, dua kali setahun ini, rokok selalu jadi sorotan BPS karena dianggap sebagai salah satu faktor utama penyebab kemiskinan di negeri ini.

Konsumsi rokok, dalam beberapa tahun belakangan selalu menduduki peringkat ke dua penyebab kemiskinan di negeri ini setelah konsumsi beras. Menurut survey BPS, belanja rokok setingkat di bawah belanja beras sebagai faktor penyebab kemiskinan banyak masyarakat di negeri ini.

Dua kali setahun itu pula, pihak anti-rokok akan memanfaatkan hasil riset keluaran BPS ini untuk menggoreng isu untuk menyerang rokok. Mereka dengan getol memanfaatkan isu yang sensitif dan fundamental ini untuk menggembosi produk rokok.

Sepemantauan saya, kaum anti-rokok menggunakan isu rokok penyebab kemiskinan ini sebagai salah satu senjata andalan mereka, di luar senjata andalan lainnya berupa isu-isu kesehatan.

Di sisi lain, para penikmat rokok, dan mereka yang konsisten membela hak-hak para perokok, petani tembakau dan cengkeh, dan industri rokok di negeri ini, akan memutar otak untuk tetap bisa membela semua itu dari serangan anti-rokok yang menghembuskan isu rokok penyebab kemiskinan. Beragam cara dimanfaatkan untuk meredam isu rokok penyebab kemiskinan ini agar serangan-serangan menyebalkan pihak anti-rokok bisa diredam.

Ini memang berat, dan isu ini memang sensitif sehingga selalu menjadi pembahasan setiap tahunnya tiap kali BPS selesai melakukan riset tahunan dan mengeluarkan rilis hasil riset mereka itu. Isu kemiskinan, dan isu kesejahteraan, memang penting untuk dibahas dan dicarikan permasalahannya. Sehingga tidak mengherankan juga jika rokok sering jadi pembahasan saat isu kemiskinan dan kesejahteraan diperbincangkan di banyak tempat dan kesempatan.

Sebagai orang yang kerap ikut ambil bagian dalam barisan perjuangan membela hak-hak perokok, petani tembakau dan cengkeh, para pedagang rokok, dan juga industri rokok dari serangan kaum anti rokok, saya memiliki pandangan yang berbeda dengan teman-teman terkait isu rokok penyebab kemiskinan ini.

Jika kebanyakan teman-teman merespon isu ini dengan cara sebisa mungkin menegasikan pandangan rokok penyebab kemiskinan, saya menerima bulat-bulat data hasil riset BPS itu. Ya, konsumsi rokok salah satu faktor penyebab kemiskinan, saya percaya itu. Meskipun saya benci statistika, tetapi, itulah hasil data statistik di negeri ini bahwasanya rokok menjadi salah satu penyebab kemiskinan, data statistik yang dikeluarkan oleh lembaga statistik terbaik di negeri ini.

Mau bagaimana lagi, hasil data statistik bilang begitu, bahwa belanja rokok setingkat di bawah belanja beras sebagai penyebab kemiskinan di negeri ini, ya sudah. Memang begitu adanya berdasar data. Meskipun semua data itu murni data kuantitatif saja, sementara data kualitatif mengapa orang-orang tetap mengonsumsi rokok sama sekali tidak ditonjolkan, misal rokok sebagai produk relaksasi dan produk rekreatif bagi banyak orang.

Sekali lagi, ya, rokok memang penyebab kemiskinan, salah satu penyebab kemiskinan, setidaknya begitulah data yang dikeluarkan BPS dua kali dalam setahun. Saya tidak mau memungkiri itu. Saya percaya itu.

Namun yang mesti dilihat dengan jelas, apakah murni rokok dan industri yang memproduksi rokok yang mesti ditunjuk dengan jari telunjuk kita semua, untuk kemudian menyalahkan keduanya karena menjadi salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini.

Sebagai penutup, saya mau mengajak Anda semua melihat fakta keras ini. Dalam setiap produk rokok yang dijual di pasaran, ada cukai dan beberapa jenis pajak yang disertakan di dalamnya dan semua itu dibebankan kepada konsumen untuk membayarnya. Seperti juga seluruh industri lain yang memiliki pajak dan juga cukai, beban pajak dan cukai dibebankan sepenuhnya kepada konsumen. Untuk produk rokok, jumlah cukai dan pajak yang masuk ke negera dalam sebatang rokok yang dijual di pasaran, mengambil porsi mencapai 60 persen dari harga jual. Misal harga sebatang rokok Rp1000, maka Rp600 langsung masuk ke kas negara lewat skema cukai dan pajak. Lebih dari separuhnya. Sudah begitu, negara setiap tahun tetap konsisten menaikkan cukai rokok dengan gembira.

Jadi, yang sebenarnya memiskinkan itu siapa? Murni rokok, atau negara lewat skema cukai dan pajaknya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)