logo boleh merokok putih 2

Rokok Senior, Jakarta, dan Cerita di Baliknya

Rokok Senior, Jakarta, dan Cerita di Baliknya

Kami selalu memanggil pria yang berada di pojok ruangan itu dengan kata ‘Senior’. Dirinya memang memiliki umur lebih tua dari pada kami. Tak hanya tua, dia juga sosok yang tenang, dewasa, dan mampu mendamaikan suasana. Gaya bercandanya pun masih masuk bagi kami yang lebih muda. Tapi sesungguhnya, kami memiliki nama khusus untuknya bukan hanya karena lebih tua, tapi uniknya dia dalam merokok.

Jakarta adalah kota yang besar, kota di mana uang dan pekerjaan melimpah. Gaya hidup pun menjadi lebih meningkat, apalagi kita yang bekerja di gedung-gedung bertingkat. Hal itu akhirnya mempengaruhi kami terkait selera rokok. Paling ya rokok putihan dan sigaret kretek mesin dengan merek terkenal.

Hemat menurut saya, semakin majemuk kota Jakarta, justru selera rokoknya malah makin mundur. Produk-produk yang tersedia makin itu-itu saja dan nyaris sulit untuk mencicipi merek-merek kretek lokal unik lainnya. Saya pun demikian, pada akhirnya harus berkompromi dengan hal itu.

Akan tetapi ‘Senior’ kami ini adalah orang yang berbeda. Dia bukan orang yang berasal dari kampung yang kemudian pindah bekerja di Jakarta. Sudah sejak lahir dia di sini, memang bukan keluarga betawi asli, tapi darah dan logat ibu kota sudah mengental kuat. 

Orang yang kami kagumi dan segani itu memiliki citarasa rokok yang sangat unik. Ketika rekan sekantor memilih produk rokok yang umum, justru dia konsisten dengan produk yang tidak familiar di perkotaan.

Panggilan ‘Senior’ disematkan padanya sejak ia baru masuk di kantor ini. Pendahulu kami bercerita bahwa saat ia awal masuk kerja, ia makan siang bersama teman-temannya di kantin bawah. Ketika momen merokok tiba dan beberapa perokok di kantor mulai menghisap rokok di ruangan merokok, ia mengeluarkan satu produk rokok dengan warna bungkus biru yang asing bagi orang-orang.

Rokok itu memiliki nama Senior, sigaret kretek mesin asal Kudus. Gara-gara teman-teman sekantor takjub dan kaget ngelihat rokok si sosok ini, dari hari itulah, hari pertama dia bekerja, dirinya dipanggil dengan nama ‘Senior’.

Saya termasuk orang yang dekat dengannya. Beberapa kali saya coba untuk meminta rokoknya dan mencicipinya. Citarasanya manis dan memiliki sensasi pedas yang tidak terlalu tebal. Agak cukup aneh bagi lidah orang perkotaan, tapi bukan berarti tidak bisa menikmati rokok ini. 

Dari segi bungkus juga rokok ini sangat tidak umum bagi kalangan perkotaan. Tapi kalau boleh saya menyukai bungkus ini. Terkesan klasik dengan warna biru yang lugas serta tiga garis yang melintas. 

Dari cerita yang disampaikan ‘Senior’, rokok ini dia beli dengan harga sekitar 16 ribu rupiah saja untuk satu bungkusnya berisi 12 batang di market online. Kecintaannya terhadap rokok ini membuatnya harus menyetok rokok dan membelinya secara banyak di market online.

Wajar, rokok ini tidak sampai ke Jakarta. Produk ini akan mengalami pertarungan yang berat di sini. Rokok nikmat nan sederhana ini tidak layak dinikmati orang kota yang angkuh akan kehidupan. Biarlah dia berada di luar sana, di zona yang membutuhkannya. Jikalau harus ke Jakarta, ia akan tepat berada di tangan orang-orang spesial yang jumlahnya tak banyak. 

Cerita tentang Senior ini adalah cerita tentang keunikan di kantor saya. Rupanya masih banyak hal-hal menarik yang tersembunyi di balik gedung-gedung bertingkat. Senior, begitu kami menamainya dan rokok idamannya yang sering saya minta. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis