Siaran Pers

Simplifikasi Tarif Cukai Ancam Keberlangsungan Produksi SKT Pabrikan Kecil

Penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau atau yang dikenal dengan simplifikasi ditetapkan oleh Kementerian Keuangan sebagai salah satu bagian strategi Reformasi Fiskal untuk pemungutan tahun 2021 lewat PM Nomor 77/PMK.01/2020.

Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menolak adanya simplifikasi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Ketua KNPK Azami Mohammad menjelaskan alasan penolakan terhadap simplifikasi tersebut dikarenakan akan memberikan 3 dampak terhadap nasib Industri Hasil Tembakau.

“Pertama, membentuk pasar oligopolistik. Maksudnya, pabrikan kecil tidak sanggup bertahan karena head to head langsung dengan pabrikan besar yang secara modal dan sumber daya lebih diuntungkan,” jelasnya, Selasa (14/7). 

Azami mengungkapkan selama ini pemerintah tidak terbuka soal layer mana yang akan dipangkas maupun digabung. Secara logika, lanjut Azami, jikalau layer disederhanakan menjadi 3-5 layer pasti akan ada pengurangan golongan. Dampaknya, layer menengah-kecil terpaksa masuk ke layer golongan yang ada. 

“Ketika pabrikan kecil masuk ke dalam struktur tarif cukai, maka langsung head to head sama yang besar,” kata Azami. 

Dampak kedua, menurut Azami, simplifikasi akan mengancam eksistensi kretek sebagai produk khas hasil tembakau Indonesia. Hal ini  mempertimbangkan tarif cukai kretek dan putihan akan digabung.

Azami memberikan dua prediksi skema penggabungannya. Pertama, bisa jadi Sigaret Putih Mesin (SPM) diturunkan levelnya disesuaikan dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Kedua, SKM dinaikkan levelnya sesuai SPM. Kedua skema ini dinilai Azami sangat merugikan industri kretek karena tidak ada penahan (barier) untuk bersaing langsung dengan produsen putihan yang didominasi oleh perusahaan rokok multinasional.

Dampak ketiga yakni mengancam ketenagakerjaan. Azami memaparkan pabrikan kecil akan tumbang karena tidak sanggup bertahan. Sementara pabrikan kecil ini merupakan industri padat karya karena rata-rata memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja.

Azami bilang ada proyeksi penurunan produksi SKT karena pabrik kecil tidak mampu bertahan. 

“Saat ini tren produksi dan konsumsi SKT sedang mengalami penurunan. Produksi SKT sendiri sejak periode 2011 sampai 2017 terus menurun sebesar 5,5% per tahun,” papar Azami. 

Adapun jumlah pabrikan sekarang tinggal 487 yang didominasi 98% pabrikan menengah-kecil. Azami menegaskan jika simplifikasi diterapkan, setiap tahunnya akan terjadi pengurangan 25%-30% jumlah pabrikan menengah-kecil di Indonesia.

“KNPK dengan tegas menolak adanya simplifikasi, karena struktur tarif cukai yang ada saat ini yakni 10 layer sudah cukup untuk menaungi diversifikasi produk hasil tembakau di Indonesia,” ujar Azami.