Cerbung

Gadis Negeri Tembakau (Bag 7)

Saat berhenti di suatu kedai untuk makan malam di daerah Kudus, sambil tak henti- hentinya menertawakan Bagas, datanglah rombongan muda-mudi lain yang duduk tepat berseberangan dengan kami. Mereka yang baru datang ini nampak kasak-kusuk dan berisik ketika melirik saya dan kawan-kawan yang saat itu sedang melinting. Beberapa diantaranya nampak berbisik namun meski demikian tidak ada salah satupun di antara mereka yang inisiatif bertanya. Kami cuek saja melinting Tembakau Djarum Super grade A dari Kudus bersama cengkeh, kelembak, dan kemenyan madu, lalu membakarnya. Karena tujuan ekspedisi kami selain menyebarluaskan produk “Rokok Lokal” adalah menikmati tembakau lokal daerah yang kami singgahi.

Aromanya semerbak bersama kepulan asap yang mengalir lewat hidung dan mulut. Meninggalkan rasa semriwing di kepala dan plong di dada dengan tingkat kepuasan yang tak terkatakan. Meredakan hati yang kalut. Pikiran yang penat. Saat kepala Srintil dipenuhi oleh bayang-bayang kehidupan keluarganya, saat hatinya penuh sesak dengan derita, inilah salah satu cara yang ia lakukan untuk sedikit lari dari kenyataan.

Setelah hisapan pertama yang disusul teh panas beserta gorengan, perbincangan hangat pun luwes dan mengalir di antara kami. Satu per satu mulai menceritakan dirinya. Meski kebanyakan yang kami tangkap adalah guyonannya saja. Kami terus berbincang dan tertawa- tawa kecil sambil menunggu hidangan inti datang. Tak perduli muda-mudi di seberang nampak kikuk dan bingung. Mungkin beberapa di antara mereka menganggap kami aneh, kolot, kampungan, atau apalah. Toh, kami dan rokok kemenyan ini tak punya salah apapun dengan mereka.

Kemudian aku berpikir, adakah saat ini orang-orang yang masih tahu bahkan peduli kalau tembakau, cengkeh, dan macam-macam tanaman yang tumbuh gemilang di negeri ini punya cerita? Rasanya pesimis, jangan-jangan semuanya punya pikiran seperti muda-mudi di seberang. Tidak ada lagi yang peduli dengan sejarah perkretekan negeri. Sebagian mungkin sudah keenakan menikmati hasil kemudahaan konsumsi instan, atau sebagian lagi sibuk bekerja mencari uang dari pagi hingga malam sehingga tak sempat membaca sejarahnya.

Tembakau boleh jadi bukan tanaman asli Indonesia. Ia dibawa oleh orang-orang kulit putih yang saat itu sedang mabuk kepayang karena menemukan negeri yang teramat subur. Atau cengkeh yang ternyata bukan tanaman asli Indonesia dari Maluku melainkan milik seorang pedagang yang tercecer yang entah dari mana. Dua hal ini tak jadi soal. Tetap ada sesuatu yang orisinal dari dua komoditas yang menjadi alasan kolonialisasi di negeri ini ratusan tahun silam dan kini membuat perusahaan-perusahaan rokok di negara maju merasa terancam kegiatan dagangnya.

Baik perokok, maupun bukan, yang hidup di negeri ini. Kita sudah sepatutnya bersyukur atas limpahan berkah dari Tuhan yang luar biasa pada negeri tropis ini. Kita memang tak punya salju untuk menjadikan bulan Desember romantis, tak punya tembok raksasa menjulang hampir ke angkaasa, tapi kita punya deretan bukit hijau dan pantai yang airnya biru serta rimbunnya hutan. Iklim yang hanya dua ini ternyata memungkinkan ratusan, ribuan bahkan jutaan tanaman dapat tumbuh subur di dalamnya serta kebudayaan-kebudayaan lokal yang sulit dicari kembarannya di tempat lain. Kretek adalah salah satunya. Lantas kenapa ia hendak disingkirkan, bahkan ingin dihapuskan dari ingatan? Apa salah tembakau, cengkeh dan para penanamnya?
Sejenak lamunan Srintil buyar, saat pelayan mengantarkan makanan pesanan mereka. Mereka pun makan dengan lahap karena melewati hari yang cukup melelahkan.

Bersambung ..