Cerbung

Gadis Negeri Tembakau (Bag 9)

“Salah enggak sih kalau kita sedih karena bernasib sebagai seorang perempuan? Haruskah mengutuki diri karena Tuhan terlanjur menakdirkan diri ini menjadi makhluk yang cenderung dinilai lemah?”

Bisa jadi apa yang kita pikirkan sama. Bisa jadi apa yang aku lamunkan selama ini juga angan-angan yang bertahun-tahun membayangi kalian. Wajar. Toh kenyataan memang tak akan selalu beriringan dengan angan dan harapan. Tidak ada yang perlu dipersalahkan atas apa yang terlintas dalam pikiran. Latar belakang pendidikan, sosial, budaya, dan pekerjaan yang berbeda membuat tiap manusia unik dengan caranya. Seperti yang pernah ku bilang sebelumnya, banyaknya kebiasaan adat di Indonesia, tidak akan ditemukan kembarannya di tempat lain. Jadi kita harus maklum dengan banyaknya persepsi dan anggapan yang beredar dalam masyarakat yang majemuk ini.

Sejenak lamunan Srintil buyar.

“Ah, untuk apa sih aku pusing memikirkan negara. Memikirkan orang lain. Lha wong urusanku sendiri masih berantakan.” Ujar Sri saat berjalan menghampiri Tedy.

###

Di dalam museum, semuanya telah berkumpul. Masing-masing mencatat dengan saksama apa yang mereka butuhkan. Sesekali mereka memotret dengan ponsel. Termasuk Bagas dan Dedy. Setelah kurang lebih dua jam mereka berkeliling museum, akhirnya mereka memutuskan untuk rehat. Srintil memisahkan diri dari rombongan. Ia berjalan gontai mencari kesegaran di sela lorong jalan yang memisahkan museum dengan perkebunan warga. Nampak tak jauh ada hamparan kebun tembakau yang disinari cahaya senja. Tak berselang lama, selepas azan magrib, gerimis turun perlahan. Dinyalakanlah sebatang rokok, dihisapnya dalam-dalam. Sejenak hanya ada ketenangan yang Sri rasakan.

###

Alunan bunyi hujan riuh gemuruh malam ini. Malam Selasa, 11 Agustus 2020. Aroma tanah basah hujan pertama menambah syahdu malam yang siangnya begitu terik, dipenuhi kemacetan dan lalu kendaraan yang hilir mudik. Membosankan, tentu saja. Akankah hari ini sama dengan kemarin atau esok? Tak ada yang tahu. Tugas kita hanyalah menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya. Seperti yang telah dilakukan Srintil. Ia tidak tau esok akan jadi apa dirinya. Pun, ia tak pernah peduli siapa dirinya dahulu.

Sri, Ina, Tedy, Dedy dan Bagas kembali ke penginapan. Karena hujan turun cukup deras dan sepertinya akan lama, mereka memutuskan untuk memesan makanan melalui ojek online. Sambil menunggu pesanan datang mereka bercakap-cakap di sebuah teras yang dipenuhi dengan aksen gaya rumah klasik. Mirip dengan desain rumah Sri di Temanggung. Sri lalu teringat sudah hampir dua minggu tak menghubungi ibunya. Bahkan sudah seharian ia tak melirik ponselnya. Diambilah sebuah ponsel dari saku celana kulotnya itu.

Tuuuuuuttttttttttttttttt ….” suara sambungan telepon dari seberang.

“Haloo, Assalamualaikum Sri,” jawab ibu nampak riang di balik telepon.

“Waalaikumsalam, Mbok” balas Sri.

“Sehat kah Nak?” tanya ibunya.

“Alhamdulillah. Bapak dan Simbok bagaimana?” balas Sri lagi.

“Alhamdulillah baik Sri.” Sahut ibunya.

Dari kejauhan terlihat seorang bapak-bapak datang dengan motor Supra lawas sambil membawa kantong kresrk putih dengan ukuran cukup besar digantung di dekat kakinya. Sepertinya makan malam mereka datang. Sri lalu berpamitan pada ibunya, lalu menutup telepon. Ia dan kawan-kawan makan malam dan seperti biasa, setelahnya mereka hanyut dalam obrolan.

Bersambung …