logo boleh merokok putih 2

Hikayat Regulasi Sektor Industri Hasil Tembakau di Indonesia

cukai rokok

Setelah menelisik beberapa buku, ternyata negara Indonesia sudah banyak mengeluarkan kebijakan yang menyasar pada sektor pertembakauan. Dari hasil bacaan beberapa literasi, kebijakan sektor pertembakauan mayoritas mengarah pada pengendalian peredaran tembakau. Mari kita coba melihat apa saja kebijakan tersebut mulai dari zaman kolonial hingga masa setelah reformasi.

Masa Penjajah tahun 1858 tembakau menjadi tanaman eksotik dan salah satu tanaman ekspor. Disinilah aturan ekspor tembakau mulai ada, yang kemudian menjadi sumber pemasukan keuangan negara pemerintah Belanda (saat itu yang menguasai).

 Pada pertengahan abad 20 Belanda membuat aturan tembakau lebih sistematis dengan mengeluarkan Staatblad No. 517 tahun 1932,  Staatsblad No. 234 tahun 1949 tentang “Tabaksaccijins-Ordonnatie”. Dua aturan tersebut mengatur tentang pita cukai, bea ekspor dan bea masuk, dan juga termasuk mengatur besaran jumlah penerimaan pemerintah Belanda. 

Setelah merdeka, pemerintah baru (Indonesia) melanjutkan aturan tentang tembakau mengenai pungutan cukai. aturan tersebut tercantum dalam UU Darurat No. 22 tahun 1950. Pada aturan ini, lebih pada penurunan cukai tembakau hingga mengatur harga jual eceran hasil olahan tembakau. 

Turunannya, berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/1951 mengatur besaran pungutan cukai dengan cara melekatkan pita cukai warna warni. 

Tahun 1956, keluar UU No. 16/1956 tentang penambahan dan pengubahan ordonansi cukai tembakau. Aturan ini menyikapi dampak perusahan-perusahan kecil skala rumahan bangkrut akibat tingginya bea cukai tembakau. Yang kemudian pemerintah memberikan subsidi pada perusahaan rokok dengan menurunkan cukai pada jumlah tertentu selama satu tahun. 

Masa Orde Baru (1966-1998), muncul UU No. 11 tahun 1995 tentang cukai. Aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya PP No. 24/1966 tentang pengenaan sanksi administrasi bidang cukai, PP No. 25/1966 tentang izin pengusaha dan PP No.55/1966 tentang penyidikan tindak pidana bidang kepabean dan cukai.

Masa reformasi, Indonesia mengalami kekacauan ekonomi dan politik hingga terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke BJ. Habibie pada tahun 1998. Kekacauan ini berpengaruh terhadap aturan pertembakauan di Indonesia.

Masa BJ. Habibie mendirikan forum komunikasi nasional (FKN) yang diinisiasi badan obat dan makanan serta Kementerian Kesehatan. FKN menerbitkan PP No. 81 1999 mengatur iklan level tar dan nikotin hingga promosi yang sifatnya pembatasan. 

Dengan aturan inilah, turunannya muncul istilah low nicotine low tar pada rokok. Yang kemudian makin merebak di Indonesia tembakau import. Karena saat itu industri ditekan regulasi agar memproduksi rokok low nikotin low tar. Sedang tembakau lokal untuk menjadi low nicotine low tar prosesnya lama dan cosnya tinggi. Kemudian industri lebih memilih tembakau import.

Jadi tembakau import besar-besaran masuk Indonesia by setting melalui regulasi. Tembakau yang besar besaran masuk Indonesia adalah jenis virginia. 

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid 2002, PP. No.81/1999 diamandemen dengan PP No. 38/2000. Isi amandemen memberikan izin kembali penayangan iklan. Pada masa Abdurrahman Wahid juga mengangkat kembali harga cengkeh petani yang semasa Orde Baru terjadi anjlok luar biasa, hingga banyak pohon cengkeh dibakar dan dimusnahkan.  

Pada tahun 2003 terjadi peralihan komando pemerintahan dari Abdurrahman Wahid ke Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada pemerintahan Megawati mengamandemen PP No. 38/2000 menjadi PP. No 19/2003 dengan menghilangkan pasal tentang kandungan tar dan nikotin, pencantuman kandungan tar dan nikotin pada setiap iklan dan kemasan, dan ukuran peringatan kesehatan harus 15% dari kemasan. 

Semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2007, muncul UU No. 39/2007 perubahan dari UU No. 11/1995 tentang cukai. Pada intinya aturan ini memuat peningkatan tarif cukai hasil tembakau.

Dari UU di atas, kemudian terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.04/2008. Aturan ini memberlakukan ketentuan terkait lokasi, bangunan atau usaha. Akibat aturan ini, banyak industri rokok skala rumahan gulung tikar. Tahun ini pula aturan penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dari amanat UU. No. 39/2007 mulai diberlakukan. 

Pada tahun 2009, masih masa SBY, terbit UU No. 36/2009 tentang kesehatan. UU ini memberikan peluang besar kesehatan untuk andil dalam pengendalian sektor pertembakauan di Indonesia. Hingga muncul juga istilah pajak daerah sebesar 10 persen, diatur dalam UU. No. 28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Aturan ini mengamanatkan pemberlakuannya di mulai tahun 2014. 

Masih masa SBY, tahun 2010 dan 2011 terbit PERMENKEU No. 191/PMK.04/2010 mengatur hubungan industri hasil tembakau. Dilanjutkan menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/Menkes/PB/I/2011-No.7 tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok.

Ekstrimnya lagi masa SBY, muncul PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP ini lebih lanjut mengatur tata niaga pertembakauan bukan mengatur tentang kesehatan. PP inilah embrio dari aturan-aturan tentang  pengendalian pertembakauan menjadi kemana-mana dan liar hingga sekarang. Anehnya, saat penandatanganan PP No. 109/2012 ini pada jam dan waktu libur kerja nasional sekitar tanggal 26 Desember. 

Pada tahun 2013 masih masa SBY, terbit Peraturan Menteri Kesehatan No.28/2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau yang diadopsi dari FCTC. 

Pada tahun yang sama, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 tahun 2013 tentang peta jalan pengendalian dampak konsumsi rokok bagi kesehatan. Kemudian juga terbit PERMENKEU No.78/PMK.011/2013 yang memuat regulasi penetapan golongan dan tarif cukai beserta pengusaha hasil tembakau yang memiliki hubungan keterikatan atau keluarga dikenakan tarif tinggi.

Masa Presiden sekarang masih banyak menjalankan aturan aturan warisan sebelumnya, hanya saja cukai naik terus bertujuan untuk pengendalian tembakau dan pemasukan kas negara.

Terlihat, presiden yang banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada sektor pertembakauan adalah semasa SBY, pada presiden lainnya kebijakan mengarah pengendalian tembakau sangat minim dan pada presiden setelah SBY lebih cenderung menjalankan kebijakan SBY tersebut.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).