75 tahun sudah bangsa ini merdeka sejak diproklamasikan oleh Founding Father Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Ya, kita sudah merdeka bung dari cengkraman kolonialisme yang menjajah Indonesia berabad-abad lamanya. Bung sekalian boleh bereuforia, boleh bersukacita, tapi ingat bahwa perjuangan belum selesai. Masih jauh dari kata selesai.
Di sektor industri kretek perjuangan masih panjang. Ada tantangan berupa kebijakan yang tidak adil, nasib petani dan buruh yang belum sejahtera, nasib pabrik kecil yang megap-megap karena tanpa kebijakan perlindungan, serta keinginan asing menguasai kretek melalui antirokok dan perusahaan rokok multinasional. Tantangan-tantangan tersebut masih harus diperjuangkan demi melestarikan eksistensi kretek sebagai produk khas warisan budaya bangsa.
Kebijakan yang tidak adil bagi industri kretek selalu muncul untuk mengamputasi industri ini secara perlahan-lahan. Kita lihat saja mulai dari kenaikan tarif cukai rokok yang tinggi setiap tahun. Bahkan hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja kenaikan cukai kenaikannya sudah hampir 200% secara gradual. Pada 2016 sebesar 11,19%. Adapun kenaikan cukai rokok pada 2017 sebesar 10,54% lalu pada 2018 sebesar 10,04% dan terakhir yang menjadi kontroversial pada 2020 sebesar 23%.
Selain persoalan kenaikan tarif cukai rokok, kebijakan tidak adil yang lain dapat dilihat dari PP 109 tahun 2012. Peraturan ini sangatlah membelenggu industri kretek, boleh dibilang juga diskriminatif, contohnya seperti pelarangan iklan pada media apapun serta peraturan kawasan tanpa rokok yang menciptakan aturan tidak jelas di berbagai daerah melalui Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Pada persoalan petani dan buruh, perjuangan yang masih harus dilakukan adalah menciptakan iklim tata niaga yang berkeadilan bagi petani dan pabrikan. Sejauh ini mata rantai tata niaga di sektor pertembakauan masih rumit dan panjang. Hal ini membuat petani sulit mengakses pabrikan sebagai penyerap hasil pertanian mereka. Sudah seharusnya sistem kemitraan diterapkan di berbagai wilayah sentra penghasil tembakau.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang selama ini seharusnya diperuntukkan mendongkrak kualitas pertanian tembakau dan kesejahteraan petani, masih jauh dari kata strategis pendistribusian dan peruntukannya. Pemerintah daerah jangan hanya enak-enakan menerima DBHCHT tapi tidak memperdulikan kondisi petani dan pertanian di wilayahnya.
Menyoal buruh, tentunya perjuangan yang harus dilakukan adalah mendesak pabrik-pabrik untuk tidak melakukan praktik outsourching bagi para pekerjanya. Sejatinya buruh rokok merupakan sumber daya inti dalam industri, maka tidak boleh ada outsourching, para buruh harus dijamin kesejahteraan dan kepastian mereka dalam bekerja.
Yang sangat penting juga dalam perjuangan ini adalah mengusir para penunggang asing yang hendak menguasai industri kretek nasional. Penunggang asing ini berkedok kelompok kesehatan yang mengkampanyekan antirokok di Indonesia. Dan ada juga penunggang asing yang berasal dari perusahaan rokok multinasional dengan kedok membeli perusahaan rokok nasional. Para penunggang asing ini merupakan penjajah gaya baru.
Wanda Hamilton mengungkapkan alasan penunggang asing menginginkan penguasaan tembakau dalam bukunya, Nicotine War (Yogyakarta: InsistPress, 2010). Diungkapkan Wanda, di balik perang global melawan tembakau, tersembunyi kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) alias obat-obatan penghenti kebiasaan merokok, seperti permen karet nikotin, koyok, semprot hidung, obat hirup, dan zyban. Kampanye kesehatan publik (public health) tentang bahaya tembakau hanyalah kedok bagi kepentingan bisnis: memasarkan produk-produk NRT tersebut.
Perusahaan-perusahaan farmasi berkepentingan menguasai nikotin sebagai bahan dasar produk-produk NRT mereka. Sudah diketahui sejak lama bahwa nikotin punya banyak manfaat medis. Persoalannya, nikotin tidak bisa dipatenkan. Nikotin terkandung secara alami pada tembakau, tomat, kentang, dan banyak sayuran lain. Sayangnya, hanya senyawa “mirip nikotin” dan sarana pengantar nikotinlah yang bisa dipatenkan. Dari sini, persaingan bergulir dan membesar di tahun 1990-an.
Dengan gelontoran dolar, perusahaan-perusahaan farmasi mendorong sekian banyak riset kesehatan tentang bahaya tembakau, program-program hibah antitembakau, hingga dukungan untuk berbagai konferensi kesehatan dunia antitembakau, termasuk untuk WHO Tobacco Free Initiative yang lahir tahun 1998.
Berdasarkan rentetan peristiwa di atas, maka tak heran jika sampai dengan hari ini kelompok antirokok sangat agresif menyerang industri kretek nasional. Para penunggang asing membagi-bagikan dollar kepada mereka untuk menggerogoti bangsa sendiri.
Sekali lagi bung, perjuangan belum selesai. Kita masih belum merdeka sepenuhnya jika masih ada musuh-musuh terselubung yang hendak menggoyahkan nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian nasional yang tercermin pada industri kretek. Bung, berjuang atau mati. Merdeka!!!