PERTANIAN

Rahasia Mutu Tembakau: Antara Petani dengan Pabrikan

Penggolongan jenis dan mutu (grade) tembakau memang cukup rumit. Penjenjangan jenis dan mutu tembakau itu mulai dari grade A dan B (yang paling rendah), lalu grade C sampai G (kelas sedang), dan akhirnya grade H dan I (tertinggi, terbaik, biasanya kelas srintil). Hanya para pakar terlatih (graders) khusus yang mampu menentukan dengan tepat perbedaan di antara berbagai jenis dan mutu tembakau tersebut.

Grader adalah orang khusus yang dibayar masing-masing pabrik pengolah tembakau untuk memberi penilaian terhadap mutu tembakau petani. Mereka bertugas memeriksa contoh (sample) tembakau petani dan menetapkan secara sepihak grade dan harganya. “Seringkali, petani menaksir tembakaunya ber grade D, ternyata oleh grader hanya dianggap C,” tutur Yamuh, seorang petani tembakau di Parakan.

Perbedaan grade dengan sendirinya menentukan perbedaan harga. Makin tinggi grade nya, maka makin mahal pula harganya. Karena itu, semakin banyak petani yang berusaha menanam tembakau untuk mencapai grade terbaik.

Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir, praktis sudah tak ada lagi petani tembakau di Temanggung yang menanam dan menghasilkan tembakau grade terendah (A dan B). “Menurut perhitungan petani,” kata Wisnu Brata, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, “memproduksi tembakau mutu A dan B dari daun-daun tembakau bagian bawah akan rugi”.

Catatan Dinas Perdagangan Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa tembakau grade A dan B itu terakhir muncul di pasar umum adalah pada tahun 2007.

Jika menentukan grade tembakau sudah cukup rumit, maka memantau bagaimana proses penentuan grade itu dilakukan oleh para graders jauh lebih sulit lagi. “Kami,” kata Widarti, petugas Bagian Perdagangan di Kantor Bupati Temanggung, “tidak bisa menembus kerahasiaan gudang-gudang tembakau milik pabrik.” Karena itu, satu-satunya cara, paling tidak sampai saat ini, kantor pemerintah itu hanya memantau pergerakan harga yang terjadi di pasar.

Lain lagi kiat para petani. Menghadapi ketentuan pasar tersebut, mereka melakukan berbagai siasat. Tidak hanya ‘petani besar’ (berlahan luas dan menghasilkan panen dalam jumlah besar) melakukan perajangan daun tembakaunya sendiri. Banyak ‘petani kecil’ (berlahan sempit dengan hasil panen tidak terlalu besar) juga melakukan pengolahan sendiri daun tembakau mereka menjadi rajangan tembakau kering. “Masalahnya,” kata Dwi Wahyono, petani sekaligus perajang dan pedagang tembakau asal Desa Tlilir, Tlogomulyo, “menjual daun tembakau basah yang belum dirajang tidak terlalu menguntungkan.

Harga jual 1 kilogram tembakau basah hanya sekitar Rp 8.000, sementara 1 kilogram tembakau rajang kering bisa sampai Rp 100.000.” Sebagai pedagang –yang membeli tembakau rajang kering dari petani atau perajang lain, lalu menjualnya ke para pedagang besar atau langsung ke gudang pabrik—Dwi Wahyono mengaku bisa memperoleh keuntungan sampai Rp 5.000 per kilogram.

Tetapi, tidak semuanya jujur. Ada beberapa petani –yang sekaligus perajang dan pedagang tembakau– melakukan praktik tak terpuji. Caranya, mereka membeli tembakau dari beberapa daerah lain (seperti Boyolali, Kendal, bahkan juga dari Jawa Timur dan Jawa Barat) yang mutunya lebih rendah dan, karena itu, harganya jauh lebih murah.

Lalu, mereka mencampur tembakau luar Temanngung itu dengan tembakau asli Temanggung, kemudian menjualnya sebagai ‘100% tembakau Temanggung’, tentu saja, dengan harga jauh lebih mahal. Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh Mukani et.al. (2006) sebagai ‘migrasi tembakau’.

Namun, praktik ‘dagang culas’ semacam itu biasanya tidak ajeg. Lama kelamaan, pihak pembeli (pedagang besar atau pabrik) akan segera mengetahuinya. Penciuman mereka yang tajam dan sangat terlatih justru mengalami kesulitan mengidentifikasi asal dan mutu tembakau tersebut, lalu mereka menilainya sebagai ‘tembakau yang tak memenuhi bakuan mutu’ yang sudah mereka kenal selama ini (Harno, 2006).

*Tulisan diambil dari buku “Kretek Kajian Ekonomi 4 Kota”