OPINI

Soal Simplifikasi Cukai Rokok, Kemenkeu Pro Industri Sendiri atau Asing?

Lagi-lagi pemerintah melalui Kementerian Keuangan membuat kebijakan perihal peredaran rokok di Indonesia dengan alasan terbilang sangat rancu, boleh dikata tidak masuk akal dan cenderung dipaksakan. Masalah kesehatan tidak bisa dibuat alasan Kementerian Keuangan membuat kebijakan simplifikasi /penyederhanaan tarif cukai rokok. Alasan kesehatan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Kementerian Keuangan. Yang ada hanyalah trik atau pengelabuan terhadap masyarakat, agar tidak ketahuan ada titipan asing dalam kebijakan simplifikasi cukai tersebut.

Jelas-jelas dalam kebijakan simplifikasi /penyederhanaan tarif cukai rokok yang sangat diuntungkan itu industri rokok asing, dan akan membunuh industri rokok nasional berupa kretek. Pastinya dalam kebijakan ini, industri rokok putih sangat mendukung. Karena selama ini cukai rokok putih lebih tinggi dibanding dengan cukai rokok kretek.

Tingginya cukai rokok putih sebenarnya satu kewajaran, dan itu masih tergolong masih baik hati, jika dibanding dengan perlakuan terhadap rokok kretek di negara asing. Kebijakan rokok kretek di negara asing, sangat menyakitkan, terjadi penghambatan dan pelarangan beredar dipasaran. Sedangkan sebelumnya, tiap tahun permintaan pasar kretek di negara asing selalu meningkat. Akhirnya muncullah kebijakan pelarangan peredaran rokok kretek disana.

Sangat aneh, saat ini di negara sendiri industri rokok kretek mau dimatikan secara perlahan dengan kebijakan simplifikasi /penyederhanaan tarif cukai rokok yang dibuat pemerintah sendiri melalui Kementerian Keuangan pro asing.

Lebih aneh lagi tujuan dan alasan yang dibuat untuk kebijakan simplifikasi /penyederhanaan tarif cukai rokok yang tercantum dalam PMK 77 tahun 2020, salah satunya agar dapat mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau.
Kalau memang orang-orang Kementerian Keuangan punya jiwa nasionalis, patriotik dan sedikit cerdas pastinya mudah membuat kebijakan yang bertujuan mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau di Indonesia dengan membuat kebijakan pelarangan beredarnya rokok putih. Kebijakan ini lebih konkrit bertujuan mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau di Indonesia.

Kebijakan simplifikasi justru tidak ada tujuan mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau. Hanya saja harga rokok disamakan entah rokok putih atau rokok kretek, yang awalnya beda. Jika kebijakan simplifikasi diberlakuan yang diuntungkan industri rokok asing dan sangat merugikan industri rokok nasional. Pelan tapi pasti industri rokok nasional akan bangkrut dan gulung tikar, terlebih industri rokok kretek skala kecil.
Rokok putih itu olahan tembakau tanpa cengkeh produksi asing, sedangkan rokok kretek itu olahan tembakau dan cengkeh industri nasional asli Indonesia. Penemunya putra bangsa bernama H. Jamhari asal Kudus, diprodusi massal putra bangsa hingga sekarang, karyawannya putra putri bangsa, bahan bakunya (tembakau dan cengkeh) dari pertanian bumi pertiwi yang dikelola putra bangsa.

Nah, jika kebijakan simplifikasi tetap dijalankan, justru akan memperparah perekonomian rakyat kecil saat pandemi ini. Terlebih para buruh dan petani tembakau dan cengkeh, buruh dan karyawan industri rokok kretek yang jumlahnya puluhan juta jiwa, pendapatannya terancam hilang. Kementerian Keuangan harus bertanggungjawab dan tanggungjawabnya akan lebih besar.

Lebih parah lagi, alasan yang diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, yang mengungkapkan alasan pembangunan sumberdaya manusia dengan menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, balita, anak sekolah, penurunan stunting, pendidikan dan lainnya. Hal ini sebagai alasan kebijakan bertujuan mengurangi ketergantungan dan konsumsi tembakau melalui kebijakan simplifikasi. Diadaptasi dari detikcom rilis Rabu 29/7/2020.

Lain itu Febrio mengungkapkan penyederhanaan tarif cukai/layer bertujuan agar tidak banyak peredaran rokok ilegal, kepatuhan meningkat, penyederhanaan sistem administrasi dan optimalisasi penerimaan negara.

Alasan Febrio yang pertama berhubungan dengan SDM dan kesehatan, terkesan sengaja dibuat-buat dan dipaksakan. Persoalan kesehatan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebijakan penyederhanaan layer. Apakah Febrio atau Kementerian Keuangan dengan kebijakan simplifikasi menjamin SDM dan kesehatan masyarakat meningkat?. Tentu tidak, yang ada hanya akan memperparah kondisi masyarakat pinggiran.

Alasan Febrio kedua, memperlihatkan bukti kegagalan kinerja Kementerian Keuangan selama ini. Ternyata Kementerian Keuangan tidak mampu mengurus sistem administrasi penerimaan negara dari pungutan cukai, hingga memilih untuk disederhanakan yang ujungnya berpihak pada industri asing.

Dengan demikian kebijakan penyederhanaan tarif cukai/layer bukan solutif, kebijakan ini justru akan menyengsarakan bangsa Indonesia, menyengsarakan puluhan juta masyarakat pertembakauan, kibijakan yang menjajah bangsa Indonesia model baru. Kibijakan yang hanya mengadopsi dan menerima kepentingan asing.