PERTANIAN

Tahun Ini, Panen Cengkeh Bagus, Harga Tidak

Pada mulanya, saya mengontak Bli Putu Ardana untuk urusan jual-beli kopi. Bli Putu, begitu saya biasa menyapanya, adalah senior saya di kampus, senior jauh. Beliau kini tinggal di Desa Munduk, Bali, tanah kelahirannya yang sejuk dan asri.

Bli Putu sempat menjabat Kepala Desa Adat Munduk, jabatan itu membikin ia disapa Bendesa. Setelah tak lagi menjabat sebagai Bendesa, Ia kemudian dipercaya menjadi salah satu tokoh yang mengurus adat Catur Desa, adat untuk empat desa dengan desa Munduk menjadi salah satu bagiannya.

Itu semua sebatas profesi-profesi administratif saja. Profesi utamanya: petani. Ragam rupa komoditas pertanian dikelola oleh Bli Putu, dengan dua komoditas utama andalannya adalah cengkeh dan kopi.

Untuk perkara kopi, Bli Putu memiliki sebuah merek kopi yang cukup istimewa dengan rasa yang cukup mewah. Kopi itu ia beri nama ‘Blue Tamblingan’. Kopi ini jenis kopi arabika, yang tumbuh di satu hamparan sempit tak jauh dari Danau Tamblingan.

Yang membikin kopi ini jadi istimewa citarasanya, Blue Tamblingan ditanam di atas ketinggian 1000 mdpl, bersama tanaman bunga pecah tujuh dan beberapa jenis bunga lain, pohon jeruk, vanili, dan beberapa jenis buah-buahan lain. Seluruh tanaman yang ditanam bersama pohon kopi arabika Blue Tamblingan ini, mempengaruhi citarasa kopi menjadi mewah.

Untuk kopi inilah mula-mula saya mengontak Bli Putu malam tadi. Saya hendak mencicip kopi ini, lagi. Karena panen kopi belum lama berlangsung, dan stok kopi Blue Tamblingan yang terbatas itu kembali tersedia. Saya mesti segera memesan. Karena kalau tidak, khawatir bisa kehabisan.

Usai memesan kopi, obrolan via chat whatsapp berlanjut. Saya bertanya perihal panen cengkeh di Desa Munduk, apakah sudah berlangsung? Bli Putu bilang panen cengkeh sedang berlangsung saat ini, dan masih akan terus berlangsung hingga beberapa hari ke depan.

Desa Munduk tempat berkesan bagi saya. Di sana mula-mula saya belajar perihal cengkeh, perihal pertanian cengkeh dan seluk-beluknya mulai dari hulu hingga hilir. Di Munduk, dari rumah Bli Putu, jadi titik mula semua itu, hingga akhirnya saya serius belajar perihal cengkeh di beberapa tempat lain di Indonesia.

Selain Bli Putu, ada Bli Komang Armada, dan beberapa nama lain tempat saya kali pertama belajar perihal cengkeh. Tapi, dua nama pertama yang saya sebut itulah pintu masuk awal saya belajar cengkeh. Dari keduanya saya tahu hal-hal paling mendasar hingga pengetahuan-pengetahuan tingkat lanjut dari dunia pertanian dan perdagangan cengkeh.

Usai mengabarkan kondisi panen tahun ini, obrolan saya dengan Bli Putu berlanjut. Bli Putu memberitahu kepada saya bahwa hasil panen tahun ini cukup baik. Bunga-bunga cengkeh berkembang dengan baik di tangkai-tangkai pohon. Semerbak aroma cengkeh menguar hingga penjuru desa, membikin desa beraroma segar khas cengkeh.

Sayangnya, bagusnya hasil panen cengkeh tahun ini tidak dibarengi dengan harga yang juga bagus. Tahun ini, menurut Bli Putu, di Munduk, harga cengkeh hanya berkisar di angka Rp50 ribu saja. 50an bawah, begitu menurut istilah Bli Putu. Maksudnya, kisaran harga Rp55 ribu ke bawah.

Ini lebih rendah dibanding tahun lalu yang sesungguhnya juga sudah rendah. Tahun lalu, harga cengkeh di Munduk tidak sampai menginjak angka Rp70 ribu. Ia berada di kisaran harga Rp60 ribu hingga Rp65 ribu. 60an bawah.

Buruknya harga cengkeh ini yang dimulai pada musim panen tahun lalu bermula dari pengumuman kenaikan cukai rokok dengan angka kenaikan lebih dari 20 persen. Ini membikin dunia pertembakauan limbung. Mulai dari pertanian tembakau dan cengkeh, produksi rokok, hingga penjualan rokok ke pasaran.

Pertanian cengkeh menjadi salah satu sektor yang terpukul dengan telak akibat kenaikan cukai ini. Karena sejauh ini, hasil cengkeh nasional lebih dari 90 persen diserap industri rokok nasional. Cukai naik, menyebabkan harga rokok naik, ini berakibat pada penjualan rokok menurun di pasaran. Pada akhirnya, pabrikan memilih menurunkan produksi, membatasi pembelian bahan baku, dan harga cengkeh turun drastis.

Dua tahun lalu, harga cengkeh masih di angka Rp80 ribu hingga Rp100 ribu. Angka normal nasional selama beberapa tahun belakangan, di luar dua tahun terakhir ini, memang berkisar pada angka Rp80 ribu hingga Rp120 ribu. Dua tahun ini, perubahan signifikan terjadi.

Menurunnya harga cengkeh tahun ini selain karena kenaikan cukai, saya kira juga ada pengaruh dari pandemi korona yang terjadi di muka bumi hingga menyebabkan krisis ekonomi di banyak tempat di muka bumi, termasuk di Indonesia yang terancam resesi.

Sesungguhnya, pertanian cengkeh cukup membantu membuka lapangan pekerjaan baru bagi banyak orang yang kehilangan pekerjaan selama pandemi ini. Di Bali, mereka yang kehilangan pekerjaan karena lesunya dunia pariwisata semasa pandemi, balik ke kampung dan bekerja menjadi buruh pemetik cengkeh di sentra-sentra perkebunan cengkeh di sana.

Pertanian cengkeh, juga pertanian tembakau, dan pertanian-pertanian lain yang tata kelolanya sepenuhnya dipegang rakyat, semestinya jadi kekuatan untuk menghambat laju krisis ekonomi yang mengancam negeri ini. Sayangnya, untuk kasus cengkeh dan tembakau, negara lewat tangan menteri keuangannya malah hendak melumpuhkan keduanya lewat skema cukai yang maha tinggi itu. Saya kira, ada yang salah dari pengelolaan sektor pertanian di negeri ini.