logo boleh merokok putih 2

Beberapa Alasan Kenapa Rokok Tingwe Menjadi Tren di Masyarakat

Sekitar 10 tahun yang lalu, keberadaan rokok tingwe masih dianggap sebelah mata terutama oleh orang-orang yang hidup di ibukota serta pinggirannya seperti saya. 5 tahun lalu, mulai banyak orang yang saya lihat mengonsumsi rokok tingwe, tapi stratanya masih sama seperti yang dulu. Kini, tingwe telah menjadi tren bahkan bagi orang-orang perkotaan yang urban. 

Rokok lintingan sendiri atau rokok linting dewe ini memang menjadi fenomena setidaknya selama satu atau dua tahun terakhir. Kenaikan tarif cukai rokok yang tinggi membuatnya menjadi solusi bagi sebagian orang. Bahkan, lebih dari sekadar solusi, posisi tingwe di hadapan masyarakat kini menjadi lebih tinggi. 

Dulu, tingwe seringkali diidentikkan dengan orang tua. Ya maklum, hingga saat ini juga masih banyak kakek-nenek yang merokok tingwe. Padahal ya tidak sedikit juga orang lanjut usia yang mengonsumsi rokok kretek yang ada di pasaran. Namun, tetap saja tingwe identik dengan orang tua karena kita dulu melihat mbah-mbah di kampung halaman mengonsumsinya. 

Kini, merokok tingwe telah menjadi tren di kalangan anak muda (bahkan perkotaan). Mereka tak lagi malu biar pun disebut seperti orang tua jika mengonsumsi produk budaya ini. Bahkan mereka merasa keren saja gitu kalau mengonsumsi tingwe. 

Ada beberapa faktor yang kiranya menjadi penentu mengapa tingwe bisa menjadi tren di kalangan anak muda saat ini. Pertama, tentu adalah kehadiran tembakau gayo yang fenomenal itu. Tembakau berwarna hijau yang jika dibakar aromanya mirip ganja itu tengah gandrung di kalangan anak muda. Bahkan harga jual tembakau hijau gayo tergolong paling tinggi ketimbang harga tembakau lainnya. 

Kedua, tentu saja karena faktor harga rokok yang makin tinggi. Mau diakui atau tidak, tren tingwe ini naik ketika pemerintah menaikkan tarif cukai hingga angka 23%. Hal ini tentu membuat harga rokok naik signifikan dan menjadikannya terbilang mahal untuk sebagian orang. 

Hal inilah yang kemudian membuat mereka mencoba beralih ke tingwe yang secara ekonomi terbilang jauh lebih murah. Hanya dengan modal uang Rp 20 ribu, mereka bisa sebats sampai satu minggu. Perbandingan yang cukup jauh dibandingkan dengan membeli rokok di pasaran. 

Keadaan pandemi yang membuat perekonomian semakin sulit dan perkara sebats jadi makin sering kemudian menjadikannya berlipatganda lagi. Sudah harga mahal, uang susah dicari, maka tingwe menjadi solusi. Daripada uang habis untuk rokok yang mahal, ya mending untuk tingwe. Begitu kira-kira. 

Namun, faktor yang menjadi fondasi utama dari fenomenalnya tingwe ini adalah kemampuan para pedagang tembakau iris beradaptasi dengan pasar. Kini rokok tingwe tidak melulu soal tembakau yang berat, tapi juga memiliki variasi rasa. Malah ada tembakau iris yang diberikan saus rasa-rasa yang pernah ada. Maksudnya rasa rokok yang pernah ada begitu lo. 

Bagi penggemar rokok putihan, ada rasa Malboro. Bagi penggemar Dji Sam Soe atau Djarum Super, tembakau dengan rasa itu juga ada. Bahkan tembakau dengan rasa-rasa susu atau sirup juga ada. Ini kemudian yang melengkapi tembakau khas macam gayo hingga bisa disukai oleh pasar perokok. 

Tanpa hal terakhir, saya kira rokok tingwe tidak bakal menjadi fenomenal seperti sekarang. Karena adaptasi yang dikakukan oleh para pedagang lah kemudian tingwe bisa jadi tren di kalangan anak muda. Karena adaptasi bagi perokok dan pedagang rokok adalah keniscayaan, mengingat negara ini kerap membuat kebijakan ngaco yang harus disikapi dengan perlawanan. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Aditya Purnomo

Aditya Purnomo

Ketua Komunitas Kretek yang menggilai kopi Wamena