logo boleh merokok putih 2

Budaya Merokok Masyarakat Indonesia dalam Tinjauan Sejarah

Langsung atau tidak langsung, makna budaya kretek bagi masyarakat Indonesia sebenarnya jauh berakar dalam budaya sirih. Lahirnya kretek memiliki akar sejarah budayanya dalam budaya tembakau. Bermula dari konsumsi tembakau dengan cara dikunyah atau nyusur, susur, namun kemudian beralih dengan cara diisap. Sementara awal mula budaya tembakau tumbuh sekaligus berakar dalam perkembangan budaya sirih, nyirih atau nginang

Sebagaimana nanti akan kita paparkan, sirih, tembakau dan kretek memiliki “benang merah” kekhususan hubungan bagi masyarakat Indonesia, yang selain membentuk lanskap historis, lebih jauh juga memberi arti simbolis yang penting. Simbolis disini terkait dengan proses ekonomi dan politik yang telah mengubah wajah Indonesia. 

Ada silang pendapat dan kontroversi di kalangan para sejarawan peradaban mengenai muasal budaya sirih, apakah asli budaya nusantara ataukah dibawa masuk dari luar. Melihat kondisi alam di Indonesia tentu sebenarnya bukanlah hal sulit untuk menyimpulkan bahwa budaya sirih tercipta di Indonesia; pasalnya buah pinang dan sirih setidaknya tak perlu diimpor, keduanya banyak dan mudah didapati di Pulau Jawa. Sementara pendapat lain mengatakan adalah para perantau Hindu dari India yang membawa budaya sirih masuk ke Indonesia. Namun para sejarawan kedua kubu tiba pada sebuah kesimpulan yang sama, bahwa budaya makan sirih merupakan salah satu aspek kebudayaan masyarakat Indonesia yang usianya tua. 

Seandainya kita menyimak folklor atau tradisi lisan yang dipercaya masyarakat Temanggung secara turun-temurun, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata ‘mbako’ atau ‘bako’ dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan saat beliau mengobati orang sakit lumpuh, “Iki tambaku”.

Sementara catatan tertua tentang tradisi sirih dikatakan berasal dari tahun 672. Adalah Shih I-tsing dalam catatannya yang berjudul “A Record of the Buddhist religion as practiced in India and the Malay Archipelago”, menceritakan kebiasaan masyarakat Palembang menyajikan buah pinang dalam perjamuan pesta-pesta masyarakat setempat yang dinikmati setelah makan. I-tsing sama sekali tidak menyebutkan pemakain daun sirih. 

Ada dugaan waktu itu pemakaian sirih bersama-sama buah pinang belum dikenal. Lebih jauh, menurut bukti literatur yang lebih pasti terkait daun sirih yang dikonsumsi bersama-sama buah pinang baru muncul dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah pada 1346 – 1347. Batuta cukup beruntung menyaksikan pernikahan putra raja Samudra Pasai, di mana daun sirih dan buah pinang menjadi bagian penting dari seremoni perkawinan itu. 

Akan tetapi dalam catatan Batutah itu belum muncul penambahan pemakaian kapur, yang dalam masyarakat Jawa disebut “njet”. Bukti literal terkait pemakaian kapur ini baru muncul tahun 1416, berasal dari laporan Haji Ma Huan, muslim Tionghoa yang pernah jadi sekretaris dan juru bahasa Laksamana Cheng-Ho. Menurut dugaan Amen Budiman dan Onghokham, pada saat Ma Huan singgah di ibukota Majapahit, gambir dan tembakau belum digunakan bersama-sama dalam tradisi mengonsumsi sirih.

Belakangan nampak terjadi perkembangan dalam budaya ini. Tradisi makan sirih tidak berhenti pada pencampuran daun sirih dan buah pinang belaka. Bahan utamanya bertambah dan semakin kompleks, yaitu terdiri buah pinang, gambir (getah pohon gambir), sirih dan kapur. Tanpa terkecuali cengkeh juga bisa ditambahkan, tergantung selera atau lebih tepatnya berkorelasi dengan status sosial seseorang. Semua bahan itu ditanam dan dipanen secara terpisah, dan umum digunakan dalam berbagai ritual maupun praktik keseharian masyarakat Indonesia. 

Tradisi sirih awalnya lekat digunakan masyarakat sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik. Dalam masyarakat Dayak, misalnya, daun sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah diyakini orang Dayak sangat mujarab menyembuhkan berbagai macam penyakit. 

Mengonsumsi sirih juga merupakan kegiatan sehari-hari yang bermakna profan. Bagi masyarakat Jawa, interaksi sosial di antara mereka akan lebih dipermudah melalui kegiatan menyirih bersama-sama atau dengan menyajikan sirih. Sajian sirih juga jadi medium pemecah kebekuan, atau sebagai pembuka percakapan. Selain itu, nyirih atau nginang itu sendiri dimaksudkan memberi efek menenangkan diri dan memberi suasana rileks bagi pemakainya.

Menurut Anthony Reid, mengunyah tembakau kemudian menjadi praktik umum dengan mengunyah sirih. Meskipun tafsir sejarah dominan tentang pengenalan tembakau katakanlah baru berlangsung pada awal abad ke-17, namun demikian entitas tembakau ternyata justru membawa fenomena perubahan mendalam pada struktur sosial, budaya, politik, ekonomi dan simbolik di Nusantara. 

Selain ditambahkan pada tradisi mengonsumsi sirih, tembakau juga dikonsumsi sendiri secara terpisah, baik itu dengan cara dikunyah atau dirokok. Kebiasaan baru ini melahirkan istilah baru dalam kosa-kata bahasa Jawa “nyusur” atau “susur”. Tembakau khusus untuk makan sirih ini dikenal dengan nama “tembakau sugi”. Nyirih, nginang dan nyusur pada perkembangannya tidak memiliki perbedaan semantik alias artinya setali tiga uang.

Meskipun literatur mencatat kebiasaan menambahkan tembakau seperti tafsiran Anthony Reid baru dimulai sejak paruh kedua abad ke-18, tapi nampaknya kebiasaan mengonsumsi tembakau, bahkan dengan cara baru yaitu “dirokok”, sesungguhnya justru sudah berlangsung lebih lama. Menurut De Candolle masuknya tembakau tahun 1600, di masa penjajahan bangsa Portugis di Indonesia.

Tafsiran sejarah De Cadolle dan Thomas Stamford Raffles itu ternyata sinkron dengan keterangan yang tertulis dalam teks sejarah Jawa, “Babad ing Sangkala”. Diceritakan tentang kebiasaan “merokok” yang bertepatan waktunya dengan meninggalnya Panembahan Senapati, dengan diberi candra sengkala “Gni Mati Tumibeng Siti” yang berarti tahun 1523 Saka atau 1601 – 1602 Masehi. Gambaran ini semakin dipertegas dengan catatatan sejarawan Belanda, Dr. H. de Haen. Menurutnya pada tahun  1622 – 1623 seorang utusan VOC pernah berkunjung ke Mataram dan mencatat kebiasaan “merokok” raja paling agung Mataram yaitu Sultan Agung, yang rupa-rupanya adalah perokok kelas atas.

Waktu itu merokok sudah bukan hanya kesenangan pribadi belaka, namun juga menjadi menu hidangan penting tak ubahnya buah pinang dan sirih yang disajikan kepada para tamu kerajaan. Tentang bagaimana buah pinang dan tembakau menjadi menu sajian utama bagi tamu raja Amangkurat I dicatat dalam kunjungan dua duta VOC pada 1645, yaitu Zebald Wonderer dan Jan Barents-zoon. Kebiasaan menyajikan rokok pada tamu-tamu kehormatan juga tercatat dalam ensiklopedia Jawa yaitu Centhini yang disusun pada tahun 1814 sebagai perintah raja yaitu Sunan Pakubuawana ke V.

“Sira dhewe ngladenana nyai lan anakmu dhenok, ganten eses wedang dhaharane, mengko bagda ngisa wissa ngrakit dhahar kang prayogi, dhayohmu linuhung”

“Hai dinda, hendaknya engkau sendiri yang melayani bersama anakmu si upik, dengan sirih, rokok, minum dan makanan, usai isya nanti hendaknya engkau telah selesai menyiapkan makanan yang baik, oleh karena tamumu orang yang mulia.”

Kebiasaan menyuguhkan sajian rokok beserta makanan dan minuman ini, nampaknya kini masih biasa kita temuai dalam budaya masyarakat petani di desa-desa. Umumnya rokok itu disajikan dengan cara diwadahi gelas. Ini lazim dilakukan dalam berbagai ritus budaya masyarakat Jawa seperti jagong bayen atau kenduri.

Sementara narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dihisap, setidaknya dapat disimpulkan dari folklore kisah cinta Rara Mendut yang mengambil konteks sejarah pada zaman kekuasaan Sultan Agung. Ini berarti juga pada kurun waktu itu rokok telah menjadi barang dagangan bagi masyarakat umum. 

Dalam teks “Pranacitra” yang dialihbahasakan oleh Dr. C. C. Berg, yang konon merupakan teks yang ditulis antara tahun 1627 atau1847, sejarawan Amen Budiman dan Onghokham tiba pada kesimpulan, bahwa pada abad ke-17 rokok telah menjadi barang dagangan di kalangan masyarakat Jawa. Apa yang menarik dari teks Pranacitra ini ialah, bahwa rokok Rara Mendut ini menyebut pemakaian bumbu-bumbu dan “wur” dalam proses pembuatannya. Kesimpulan ini dipertegas tulisan J. W. Winter yang berjudul “Beknopte Beschrijving Van Het Hof Soerakarta”. Winter menyebutkan, bahwa pada akhir abad ke-18 merokok dan menyirih telah menjadi salah satu kebutuhan primer di kalangan masyarakat Jawa.

Perjalanan sirih, tembakau dan rokok yang sudah melintas abad dan terwariskan antar generasi sudah tentu membawa kedekatan tersendiri dan kekhususan hubungan bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih, tembakau dan rokok bagi kehidupan masyarakat Jawa dicatat oleh Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).