logo boleh merokok putih 2

Gadis Negeri Tembakau (Bag 10)

Kudus, Kamis, 20 Agustus 2020. Pukul 04.47 WIB.
Karena semalam usai makan malam mereka langsung tidur, pagi ini sebelum pukul 5 pagi Srintil sudah terbangun dan merasa badannya sangat segar. Suasana hujan semalaman yang dingin serta sepinya malam membuat orang-orang kota seperti mereka menemukan kedamaian yang lain. Kedamaian yang sangat jarang mereka rasakan setiap harinya. Hanya kebisinganlah yang selalu mereka dengarkan. Bahkan suara gemuruh petir bisa jadi tak terdengar karena kalah dengan suara klakson kendaraan yang berebut di jalan ingin segera sampai ke tujuan.


Karena agenda hari ini baru akan dimulai puku 08.00 nanti, Sri memilih untuk duduk di balkon kamar tempat mereka menginap. Ini hari keempat mereka di Kudus. Namun baru kali ini Sri bisa menghirup udara pagi di sini. Udara pagi sisa guyuran hujan semalam memang sangat segar. Sri menghirup udara dalam-dalam. Oksigen masuk ke hidungnya. Mengalir ke seluruh tubuhnya. Merambat pelan sampai ke otaknya. Ia lupa kapan terakhir kali ia tidur senyenyak ini dan bangun dengan keadaan sesegar ini. Mungkin beberapa tahun lalu, di rumahnya. Ya, di Temanggung tercinta.

#

Hari ini bertepatan dengan tahun baru Hijriyah. Dimana semua umat, baik Islam maupun bukan, baik taat maupun abangan, nampaknya bersuka cita merayakan pergantian tahun meski dengan caranya sendiri-sendiri. Dalam keheningan dan larutnya kebahagiaan yang dirasakan oleh Srintil, sejenak dirinya teringat akan teriakan seorang Ibu tempo hari di sebuah kedai kopi karena ia merokok. Stigma negatif bagi para perempuan perokok memang kerap kali menghampirinya saat berada di tempat umum. Tak jarang ia pun harus merokok dengan sembunyi-sembunyi layaknya seorang penjahat. Meninggalkan forum seperti buronan, dan lain sebagainya. Namun dalam hatinya ia tak masalah jika dianggap sebagai orang buangan karena berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya. Kolot mungkin. Udik atau kampungan dan sebagainya sering kali menjadi kata yang dilemparkan kepadanya baik dari bisik-bisik sampai umpatan layaknya toa masjid. Ia terima itu semua dengan lapang dada. Karena sudah terbiasa. Kalaupun stigma perempuan perokok itu jelek, lalu kenapa tidak dengan pekerjaan dan hal lainnya. Banyak buruh perempuan yang pekerjaannya sama dengan laki-laki, justru beban mereka lebih banyak karena harus mengurus rumah tangga dan keluarga. Kenapa di negara yang mayoritas umatnya muslim dan memuliakan wanita ini justru masih begitu kentara pembatasan gendernya.


Kapankah stigma negatif ini akan berakhir? Batinnya.


Akar kuat tentang stigma negatif perempuan perokok memang sulit dipatahkan. Andai akar ini tumbuh pada sektor lain. Tentu akan sangat membahagiakan. Tapi itulah Indonesia. Dimana isu dan hal negatif lebih banyak penggemarnya.


Kenapa seseorang yang mencoba melestarikan budaya dengan menghisap hasil panen negeri sendiri dianggap buruk. Lupakah kita bahwa cengkih dan tembakau, adalah dua hal yang sering jadi kambing hitam dan sejak dahulu menjadi rebutan bangsa asing yang berusaha menguasainya selama 350 tahun lebih? Tembakau menjadi komoditas pasar terbesar bukan lagi di Indonesia, tetapi di Eropa bahkan Dunia. Lupakah kita semua tentang semua ini?

Bersambung ..

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis