logo boleh merokok putih 2

Gadis Negeri Tembakau (bag 11)

Suatu pagi yang cerah pukul 8 pagi kurang 15 menit, mobil Pak Agung, sopir andalan rekomendasi Pak Pardi -penjaga Museum Kudus- tiba di penginapan. Setelah sarapan Soto Kudus yang benar-benar di Kudus, bukan di Jakarta ataupun daerah lainnya dan beberapa tusuk sate telur puyuh serta satu usus, Srintil dan kawan-kawan bergegas melanjutkan ekspedisi di Kota Kudus. Mulai hari ini mereka akan bekerja serius. Ya, sejak kemarin mereka juga telah bekerja dengan serius, hanya saja tak melibatkan banyak orang. Berbeda dengan hari ini, jika kemarin waktu mereka lebih banyak habis untuk menikmati suasana alam di Kudus, maka mulai hari ini mereka akan take video sebagai bahan promosi iklan yang akan tayang di Youtube. Di tengah maraknya isu Youtube yang mulai kalah dengan aplikasi Tik-Tok, Srintil dan tim ekspedisi yang lain tak pernah gentar. Mereka yakin akan ada jutaan pasang mata yang dengan sadar menyaksikan tayangan mereka. 

Bagas dan Dimas sebagai penanggung jawab video nampaknya sudah sangat siap dengan peralatan seperti kamera, lensa, tripod, lighting microphone, dan sebagainya. Ina dan Ridwan sebagai penanggung jawab konten juga telah mempersiapkan materi dengan apik, sedangkan Sri sebagai penanggung jawab ekspedisi juga nampak tidak sabar untuk memulai proses pengambilan video. Sebentar lagi program perdana pimpinannya akan digarap. Meski bukan kali perdana menjalankan suatu proyek, namun baru kali ini Sri memimpin sebuah ekspedisi. Jika ia gagal, maka nama perusahaanlah yang ia pertaruhkan.

###

Take video pertama diambil di museum. Mereka akan mengambil beberapa adegan di sekitar Museum dengan Pak Pardi selaku tokoh utamanya. Mereka akan meminta Pak Pardi bercerita sedikit tentang Kota Kudus dan sejarah Museum sebagai opening.

Pak Pardi bercerita bahwa kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang menyebar pada masyarakat sekitar dan beredar di kalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, Djamari yang merupakan penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkih. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkih dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. 

Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkih untuk mendapatkan manfaat cengkih tersebut. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan rokok buatan Djamari ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkih. Lantaran ketika dihisap, cengkih yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”. Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal.

Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908. Usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

Menurut beberapa legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus kulit jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.

Pak Pardi melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan masa kecilnya dimana ia dapat berlarian sepuasnya sepulang sekolah. Lalu bermain layang-layang di belakang rumah, namun lambat laun semua itu hilang. Begitu pula dengan kretek yang juga dilupakan.

Memang dalam hidup ada sesuatu yang memang harus dilupakan begitu saja. Bila sebagian manusia berpendapat bahwa tidak ada hal yang sia-sia, namun kita boleh pula berpendapat bahwa harus ada sesuatu yang berjalan sia-sia dan kita harus merelakannya.

Hidup terlalu sesak untuk kita telaah. Terlalu penat untuk kita cari hikmah. Kita hanya perlu menghadapi setiap kemungkinan yang ada.

Bersambung ..

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis