Review Rokok

Ketika Pendemi Memaksa Kita Berpindah Merek Rokok

Anda mungkin menjadi salah salah satu dari sekian banyak orang yang sangat setia kepada citarasa rokok kretek kelas 1. Sebut saja harum dan wangi khas Djarum Super, rasa pedas-manis yang ada di Surya 16 atau Gudang Garam Filter, rasa Dji Sam Soe non filter kuning atau Magnum yang pekat-mantap tarikannya dan cocok diisap setelah makan nasi padang kuah gulai-lauk paru, atau di kelas mild seperti LA Mild Merah yang memiliki wangi lembut khas kudus-an tapi sekaligus memberikan tarikan mantap di kelas mild seperti Class Mild yang sering menemani obrolan bersama seorang wanita di sebuah coffee shop.

Anda mungkin sudah menaruh keyakinan khusus ke merek-merek rokok kretek tadi, sampai-sampai untuk memulai aktivitas pagi, Anda wajib menghabiskan 2 batang rokok kretek ditemani kopi atau teh dulu sambil melihat HP, tentu saja sebelum beranjak mengambil handuk dan menuju kamar mandi.

Bagi penikmat “poligami rasa” seperti saya yang dulu selalu sedia rokok filter seperti Djarum Super dan 76 Filter Gold atau MLD Putih, ritual memulai hari pasca bangun tidur dimulai dengan mengisap 2-3 batang rokok kretek sebelum masuk kamar mandi, tentu dengan segelas kopi tubruk. Maklum, Soal “keimanan” rasa sudah tidak bisa digoyahkan lagi. Buat saya, mengkretekkan mulut sebelum memulai hari itu adalah keharusan.

Tapi apa daya, kesetiaan saya bertahun-tahun harus goyah dihantam Pandemi Covid19 sejak Maret lalu. Pelan-pelan saya harus meninggalkan Djarum Super dan keluarganya karena “dipaksa” berselingkuh dengan rokok-rokok kretek kelas 2 dengan alasan perekonomian sedang buruk. Walaupun hati berontak, mau tak mau saya harus mencoba, memang berat, tapi harus. 

Awalnya saya mencoba VIP yang disebut-sebut memiliki karakter seperti Djarum Super, meski menurut saya tidak sesempurna cinta saya kepada Djarum Super. Setelahnya, karena tinggal di Jogja, VIP cukup sulit didapatkan di warung-warung sekitar, saya mencoba Lodjie Bold, yang rasanya seperti mencium Wismilak Diplomat bersamaan dengan LA Bold, rasanya sedikit rancu, tapi pantas dicoba.

Praktis selama pandemi saya bergonta-ganti merek rokok, mulai dari VIP, Patra, Lodjie Mild (kemasan putih-merah), Lodjie Bold, Tutton, Sukun Merah Filter, Sukun Executive sampai sesekali menghisap rokok putih seperti Country Merah atau West. Tapi namanya cinta, memang tidak bisa dibohongi, sesekali saya kembali ke Djarum Super, 76 Filter atau Djarum Super Wave, dengan frekuensi bertemunya tidak sesering sebelum masa pandemi. Bisa dihitung jari kalau dalam seminggu, seberapa sering saya bertemu wangi produk-produk Djarum dibanding seringnya saya bertemu rokok kretek kelas 2 dengan berbagai merek yang saya sebut tadi atau tembakau lintingan dengan berbagai varian rasa.

Pandemi Covid memang membuat banyak sekali orang menemui persoalan, terutama soal keuangan. Penyebabnya tentu anda sudah tahu, daya beli menurun karena banyak orang yang akhirnya tidak bekerja setelah PHK, atau pemotongan gaji selama beberapa bulan, THR tiba-tiba hilang dan banyak faktor lain yang akhirnya bagi perokok seperti saya, harus memutar otak, menguji kreativitas agar asupan aroma cengkeh dan tembakau tetap stabil. 

Jangan berpikir saya pecandu nikotin. Tidak. Saya suka merokok kretek, non filter, filter ataupun kretek mild, bahkan tingwe. Saya masih bisa berpuasa tanpa memikirkan rokok, saya masih bisa buang air besar seandainya toilet yang saya tumpangi untuk buang air besar ternyata melarang aktivitas merokok, saya bahkan tidak selera merokok sehabis sikat gigi, paling tidak butuh waktu 2 jam sebelum saya menghisap rokok kretek saya pasca sikat gigi, itu pun harus ditemani kopi atau minuman manis. Jadi, merokok itu “habituatif” bagi sebagian orang. Bukan candu seperti yang diteriakkan para anti rokok maha benar dengan segala alasannya itu.

Dari apa yang saya lihat di sekeliling saya, kesulitan ekonomi seperti sekarang membuat banyak perokok yang mengatur kebutuhan asupan tembakau dan cengkeh mereka dengan bijak. Mulai dari beralih ke rokok kretek kelas 2, tembakau linting atau tingwe atau malah ada yang diselingi mengunyah permen karet. 

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang kehilangan pekerjaan lalu memulai usaha rumahan, atau beralih profesi, pendapatannya mungkin tidak sebaik dulu, buat mereka bisa mencukupi kebutuhan dapur sehari-hari pasca kehilangan pekerjaan sudah membuat mereka tenang-bahagia-bersyukur, terlebih bisa menghisap rokok kretek apapun mereknya.

Ada beberapa orang bilang kalau bahagia itu sederhana, masing-masing orang punya standarnya. Bagi saya; tetap bisa memulai hari dengan segelas kopi dan 2 batang rokok kretek filter seperti Sukun Executive sudah saya syukuri, terlebih kalau ada Djarum Super di sisi saya. Seperti menemukan cinta lama yang sempat terpisah karena pandemi. 

Bersyukurlah bagi kalian yang bisa tetap setia mengisap rokok kretek kesayangan kalian walaupun di tengah pandemi, tanpa harus bersusah payah mencari selingkuhan yang sepadan tapi akhirnya kembali lagi ke cinta lama kalian. Masih banyak orang yang berselingkuh “citarasa” tapi memendam kerinduan yang amat sangat dalam untuk bisa kembali dan setia. 

Saya yakin kalian paham soal ini. Pemerintah saja yang kebangetan masih berniat menaikkan cukai, bikin gagasan simplifikasi cukai, atau membandingkan harga rokok di sini yang katanya terlalu murah dibanding negara lain. Memangnya UMR di negara lain itu berapa? HIH!