kretek
REVIEW

Kretek, Penghidupan bagi Masyarakat dan Negara

Semenjak kretek diproduksi massal oleh Nitisemito, saudagar asal Kota Kretek Kudus Jawa Tengah sekitar abad 20, kretek menjadi salah satu industri padat karya dan tahan goncangan ekonomi global dari dulu hingga sekarang. Banyak literasi sejarah kretek yang mengatakan demikian. Buktinya lagi, sampai detik ini masih terlihat eksistensi industri rokok kretek yang tersebar di bumi Nusantara.

Justru perjalanan rokok kretek di Indonesia terkendala kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak. Perjalanan rokok kretek pelan-pelan tergerus keberadaan regulasi. Dahulu industri kecil dan besar jumlahnya ribuan, sekarang tinggal ratusan. 

Tak lain bukan karena kurangnya bahan baku, bukan karena guncangan ekonomi, tapi lebih terpengaruh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan  pemerintah yang tidak berpihak. Salah satunya terbitnya PP 109 yang memasukkan tembakau termasuk kategori zat adiktif dan pungutan pajak berupa cukai selalu naik tiap tahunnya. 

Ghirah pungutan pajak berupa cukai saat ini tidak lagi semata-mata pungutan untuk menambah pemasukan APBN. Lebih dari itu pajak cukai saat ini untuk pengendalian tembakau dan olahannya. 

Fakta riil di lapangan, keberadaan tembakau dan olahannya berupa kretek memberikan penghidupan langsung bagi banyak elemen masyarakat Indonesia.

Kalau mau lihat elemen elemen masyarakat yang penghidupannya dari kretek bisa jalan-jalan ke daerah sektor pertanian tembakau seperti Kabupaten Temanggung, sektor pertanian cengkeh di Maluku atau di Bali, sektor industri seperti di Kota Kretek Kudus Jawa Tengah. 

Di sana, pasti terlihat banyak masyarakat yang ekonominya mengandalkan pada pertembakauan . Elemen masyarakatnya banyak sekali rupa-rupanya di tiap klaster tembakau, cengkeh dan industri. 

Pada klaster pertanian tembakau terdapat banyak elemen diantaranya: 

Pertama, petani tembakau yang terbagi petani kecil dengan lahan sendiri dan tidak luas, petani besar lahan sendiri dan besar,dan petani penggarap dengan lahan sewa    

Kedua, buruh tani, yaitu orang bekerja ke petani  tiap harinya. Terkadang buruh tani punya lahan tapi kecil, dan lahannya sering di nomor duakan saat menggarap, dan lebih diutamakan lahan majikannya. Namun mayoritas buruh tani tidak punya lahan, dan hidupnya menggantungkan dari hasil dia bekerja pada majikan (petani). Tidak sedikit buruh tani punya keahlian yang mumpuni dalam bertani. Bahkan terkadang kemampuan bertaninya mengalahkan majikannya.

Ketiga, pengrajin keranjang tembakau; ia adalah pembuat keranjang tempat tembakau saat panen tiba. Namun biasanya untuk dapat stok keranjang dengan jumlah banyak, ia harus membuat jauh-jauh hari sebelum panen. Pembuat keranjang punya keahlian khusus, tidak sembarang orang bisa buatnya. Ukuran dan bobot keranjang syarat mutlak pengetahuan yang harus dimiliki. Keranjangnya memang khusus dijual ke petani tembakau.  

Keempat, usaha transportasi; saat panen raya tembakau,di daerah pertembakauan banyak mobil pick up, truck lalu lalang di jalanan dengan membawa tembakau dari petani ke gudang. Ternyata mobil-mobil tersebut dipersiapkan untuk panen tembakau. Saat hari biasa, mobil-mobil tersebut jarang jalan/ jarang dipakai. Bagi petani yang mapan biasanya punya sendiri, namun jumlahnya tidak banyak. Tetap membutuhkan armada lain saat panen raya tembakau tiba.   

Pada Klaster industri batik skala kecil atau besar terbagi beberapa elemen orang yang hidup dari tembakau dan hasil olahannya. Seperti buruh giling, ia bekerja di industri rokok  fokus menggiling atau membuat rokok dengan alat bantu sederhana terbuat dari kayu. Keahlian menggiling rokok ini bukan perkara mudah, ia sebelumnya harus berlatih giat guna dapat  hasil menggiling sempurna sesuai permintaan industri dan konsumen. Menggiling rokok atau membuat rokok merupakan keahlian warisan nenek moyang. penggiling mengandalkan pengalaman dan jam terbang, semakin lama ia menggeluti penggilingan biasa semakin lincah, semakin cepat dan hasilnya rapi. Penggiling saat ini kebanyakan kaum hawa. Konon, dahulu posisi penggiling didominasi kaum adam. 

Dalam klaster industri ada lagi yang dinamakan buruh mbatil, yaitu orang yang kerjaannya hanya merapikan rokok setelah dari penggilingan. Merapikan rokok dengan menggunting ujung hisap dan ujung bakar rokok. Karena biasanya rokok setelah dari penggilingan di tiap ujungnya terdapat tembakau yang tidak beraturan. Di industri rokok, kelas orang mbatil dibawah penggiling. Nah, biasanya pem mbatil senior (jam kerjanya sudah lama) akan naik tingkat ke penggiling. 

Elemen industri selanjutnya adalah karyawan bagian manajemen dan marketing. Di industri rokok bagian manajemen dan marketing sangat dibutuhkan. Dan ia mayoritas tidak bisa menggiling rokok, namun tugasnya hanya mengatur jalannya perusahaan dan penjualan produk rokok. Bagian ini juga sebagai penentu eksistensi industri rokok. Manajemen amburadul dan pemasaran serta penjualan rokok sangat ditentukan bagian manajemen dan marketing.  

Klaster selanjutnya yang hidupnya dari hasil pertembakauan adalah usaha percetakan bungkus rokok. Jasa yang ditawarkan dalam usaha ini, biasanya mulai dari pengadaan kertas pembungkus hingga desain grafisnya. Memang perusahaan percetakan banyak sekali, biasanya untuk kebutuhan yang berhubungan rokok usaha percetakannya fokus membuat barang yang berhubungan dengan rokok tidak yang lain.

Efek domino pertembakauan lainnya adalah klaster pasar tradisional, tokok klotok sampai pada usaha penitipan sepeda dan motor. Usaha ini banyak dilihat di sekitar industri rokok. Mereka menjual semua kebutuhan hidup buruh rokok. Jadi buruh rokok tidak susah payah harus membeli kebutuhan tiap harinya.  

Disini terlihat banyak elemen masyarakat yang hidupnya menggantungkan pada sektor pertembakauan dan hasil olahannya. Jika dijumlah sekitar kurang lebih ratusan ribu orang bahkan lebih. 

Namun sayang, setelah memasuki pemerintahan reformasi, keberadaan mereka yang hidupnya dari hasil tembakau dan olahannya tidak pernah sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan regulasi. Yang ada, regulasi pemerintah justru berpihak pada kelompok orang yang ingin mematikan pangan mereka. Salah satu praktik ketidakadilan pemerintah dalam melindungi hajat hidup manusia di Indonesia, yang berhak mendapatkan perlindungan akan keberlangsungan hidupnya. 

Salah satu contoh kebijakan menaikkan pungutan cukai, akan berimbas ke petani, buruh dan semua orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor tembakau dan olahannya. Cukai naik, hasil olahannya berupa rokok dipastikan naik. Ketika naik, daya beli melemah, pendapat industri melemah, pembelian bahan baku melemah, jumlah produksi melemah. Ketika jumlah produsen berkurang, maka pendapatan semua elemen sektor pertembakauan akan berkurang dan melemah, imbas dari kenaikan cukai. Masih banyak lagi regulasi semasa reformasi ini yang terbit dan ditunggangi kepentingan asing dan kepentingan anti rokok.