Hasil panen petani oleh industri pada musim ini baru berjalan sekitar 40% dari total hasil panen petani tembakau seluruh Indonesia. Namun, banyak sekali persoalan, utamanya soal harga beli, yang membikin gundah hati para petani tembakau. Di sinilah, jika pemerintah paham, masih ada 60% hasil pertanian yang mesti dijaga dan sangat membutuhkan intervensi pemerintah pusat.
Entah pemerintah sadar atau tidak, terjun bebasnya harga jual hasil panen petani, diakibatkan oleh kebijakan kenaikan cukai 23% pada awal tahun 2020 sehingga harga jual eceran rokok melejit hingga 30%.
Kenaikan CHT serta HJE ini membuat pabrik rokok mengurangi serapan tembakaunya kepada petani, sehingga mau tidak mau harga pun turut serta terjun bebas.
Harga yang terjun bebas di tengah hasil panen yang sangat bagus, membuat tingkat stres petani meningkat. Pendapatan yang tidak bisa menutup ongkos produksi, apalagi menuai keuntungan, menelurkan ekspresi kemarahan para petani: ada yang mencabuti tanamannya hingga membakar tembakau yang siap dikirim ke pabrikan.
Di tengah kondisi yang serba susah ini, seharusnya pemerintah menyadari satu hal, bahwa segala kebijakan yang mereka keluarkan akan berdampak serius kepada masyarakat di pedesaan, khususnya dalam pertanian tembakau. Kita masih ingat betul, tahun 2019 Sri Mulyani mengumumkan kenaikan CHT dan HJE tepat sebelum masa panen raya digelar. Sehingga, harga jual petani pun turut terguncang.
Jika memang kenaikan cukai rokok tidak bisa terelakkan, seharusnya Kemenkeu atau Sri Mulyani sebagai aktor yang bertanggung jawab, bisa memastikan kenaikan cukai tahun ini tidak bar-bar seperti sebelumnya.
Seharusnya ia bijak, tidak menaikkan cukai saat Jokowi mencalonkan diri lagi sebagai presiden RI pada 2019. Kecuali Sri Mulyani berpikir, nasib petani tembakau tidak terlalu penting jika dibandingkan Jokowi mendapat simpatik dari petani tembakau di seantero Indonesia.
Tapi, harapan itu sepertinya pupus. Beberapa kali media mengabarkan, Kemenkeu sedang mengambil ancang-ancang untuk menaikan kembali CHT tahun 2021. Tidak bisa diterima, jika alasan kenaikan cukai rokok itu untuk menolong keuangan negara yang sedang goncang akibat covid, sementara ada elemen masyarakat yang dibuat sakit akibat itu.
Apakah Sri Mulyani menggunakan qaidah dalam fikih, “Apabila ada dua mafsadat bertentangan, maka yang harus ditinggalkan adalah mafsadat yang mudharatnya lebih besar, dengan melakukan mudharat yang lebih ringan.” Konteks ini saja perlu diperjelas, mana madlarat yang besar dan yang ringan. Secara eksplisit memang, menyelamatkan negara lebih penting, tapi apakah benar menyelematkan negara? Atau hanya menyelamatkan mukanya di hadapan publik?
Sebagai seorang menteri yang tenar di dunia, seharusnya Sri Mulyani berlaku bijak dalam persoalan ini. Jangan sampai, kebijakan yang diberi tendensi menyelamatkan pendapatan bangsa, malam menjadi anak panah yang menghujam dada rakyatnya sendiri. Negara punya BUMN, seharusnya itulah yang dimaksimalkan, bukan mengeruk dan memukuli terus menerus tanaman yang menghidupi jutaan petani dan buruh pabrik.
Pemerintah musti hadir dan membuka mata, jika petani tembakau kita sedang tidak baik-baik saja.