logo boleh merokok putih 2

Sukarji dan Suraji dalam Berbincang Harga Rokok

Ada dua sahabat lama bertemu setelah perpisahan yang amat panjang. Sebut saja mereka Sukarji dan Suraji. Sukarji kini adalah pengusaha sekaligus anggota dewan yang uangnya tidak punya seri, Ia adalah salah satu aktivis yang getol ingin memberangus industri hasil tembakau Indonesia. Sementara Suraji sejak dulu masih mencangkul di ladang. Hidup saban harinya ditopang dari hasil menjadi buruh di ladang-ladang tetangganya. Hiburan di kampung halamannya, setelah seharian berjibaku dengan terik dan tanah liat, adalah merokok sembari jagong di warung kopi atau hanya merokok dan mendengarkan radio semata.

Dalam perjumpaan itu, selain membicarakan perihal kisah hidup masing-masing, mereka berdua terlibat obrolan perihal harga rokok.

Sukarji: Ra, rokokmu kok mereknya tidak ada di Jakarta?

Suraji: Iyo, Kar. Ini yang murah. Rokok sekarang mahal. Kadang aku ya ngelinting, biar tetap ada hiburan abis nyangkul di sawah.

Sukarji: Mahal dari mana? Wong Djarum Super sebungkus masih 18 ribu, Gudang Garam juga masih segitu. Itulah kenapa, sekarang anak-anak bisa membeli rokok dengan bebas.

Suraji: Iyo murah menurutem, Kar. Wong pendapatanmu sebulan bisa dua sampai 3 digit. Lha bagi wong kampung seperti saya ini, yang entah setiap hari dapat uang atau tidak, ya sudah mahal sekali. Kadang memang kita tidak menyadari, mahal atau murahnya sesuatu itu, ditentukan pada persepsi kita masing-masing. Bagi orang berpenghasilan tinggi, seperti dirimu ini, ya pasti bilang harga rokok murah. Lha bagi kami?

Sukarji: Iya, aku paham. Tapi seharusnya, Indonesia itu kayak Singapura dong. Harga rokok 200 ribu, biar orang-orang berpikir ulang untuk membeli rokok.

Suraji: Haduh, Kar, Kar. Yo wajar kalau di Singapura harga rokok 200 ribu. Wong pendapatan mereka sehari setara pendapatan orang-orang kampung sebulan. Malah mungkin lebih banyak. Ya monggo kalau rokok mau dinaikkan, asalkan pendapatan masyarakat juga naik. Ini kalian kok ruwet amat jadi pemangku kebijakan, kalau nda pengen ada rokok di Indonesia, ya tutup saja pabriknya. Larang petani menanam tembakau. Beres.Sukarji: Yo ora bisa mengkono. Nanti negara ga dapat pemasukan dong. Kan dari Industri Hasil Tembakau, negara banyak terbantu.Suraji: Ya kalau begitu, tinggal kalian yang di atas ini bukan menyalahkan rokok. Tapi menyalahkan diri sendiri.

Sukarji: Kok bisa begitu?

Suraji: Ya, bisa. Wong kalian ini sudah banyak bikin peraturan soal dunia pertembakauan di Indonesia. Coba baca-baca ulang PP 109 dan seabrek peraturan lainnya. Apakah peraturan itu hanya sebagai bukti bahwa orang-orang atas biar terlihat sudah bekerja? Tapi pengamalan atas peraturan yang mereka buat sendiri, diabaikan? Atau memang dengan menyalahkan “rokok” adalah satu dari sekian banyak tujuan mengamankan kepercayaan publik?

Wong setahu saya, pabrik-pabrik rokok, yang membantu negara menghentaskan pengangguran dan kemiskinan itu, sudah mematuhi poin-poin yang kalian buat. Soal lain-lainnya, ya tergantung bagaimana kalian melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam peraturan tersebut.Atau jangan-jangan, kalian ini cuma mengikuti arus saja, kalo mayoritas bilang, “rokok biang segala hal negatif di Indonesia, maka kalian akan bilang yang sama. Biar ndak dikucilkan atau tetap pada posisi aman. Kok kalah sama ikan, yang berani berenang menantang arus.

Sukarji: Halah, itu alasan klasik para perokok saja.

Suraji: Ngaca, Kar. Kalian menyerang rokok ya alasan template saja. Baca deh berita ini, isinya template belaka. Menyuruh orang komprehensif, tapi kalian sendiri mengajari, bahwa untuk memutuskan sesuatu, cukup pakai satu hal saja. Soal anak kecil merokok, itu bukan karena harga yang kalian bilang “murah”, tapi kerja pengawasan kalian yang sebenarnya murahan. Tinggal mau mengakui atau tidak!Ya mau bagaimana, uang antirokok masih manis rasanya.

Mbokku mbiyen ya Fatayat terus Muslimat. Sampai sekarang, setiap seminggu sekali, dari rumah ke rumah, kumpul-kumpul menghidupkan organisasi. Tapi sayang ga jadi DPR, jadi kalau liat anak-anaknya merokok, beliau tetap menasehati. “Jangan merokok, Le, masih kecil.” Tapi tentu saja, Mbokku yang tidak DPR itu, tidak lantas mencuci tangan dengan mengatakan “rokok terlalu murah, bikin anak-anak jadi merokok”. S

ukarji: Eh, gimana kabar Si Laela?

Suraji: Jumatan dulu, Kar. Si Laela udah jadi milik orang sekarang. Ia dinikahi Parjo. Parjo perokok berat. Mungkin itulah alasan Laela memilih Parjo. Laela yakin di balik lelaki yang merokok “berat”, ada keromantisan ketika sang istri yang melintingkan.

Tulisan ini menanggapi Anggota Komisi IX DPR: Perokok Anak Naik karena Harga Rokok Murah

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Ibil S Widodo

Ibil S Widodo

Manusia bodoh yang tak kunjung pandai