OPINI

Hari Kretek Nasional: Kretek yang Melampaui Waktu

Sekitar satu setengah abad silam, di Kudus, Jawa Tengah dikisahkan seseorang yang bereksperimen terhadap dua komoditas perkebunan yang menjadi primadona di era kolonialisme pada masa itu, yakni tembakau dan cengkeh. Dengan local wisdom yang dimiliki, seseorang yang sedang bereksperimen ini akhirnya menemukan sebuah produk yang kelak setelah masa hidupnya berakhir menjadi sebuah industri yang berkontribusi besar bagi republik ini. Ya, orang ini adalah Haji Djamhari sang penemu kretek.

Kretek merupakan hasil eksperimen Haji Djamhari yang diracik dari tembakau dan cengkeh, dua tanaman yang menjadi lumbung kekayaan kolonial yang di dapat dari tanah Nusantara. Tembakau saat itu disebut sebagai ‘emas hijau’ sementara cengkeh sebagai tanaman endemik asli Indonesia memiliki sejarah panjang yang menolong bangsa barat dari kepunahan kala musim dingin merengkuh tanah Eropa dan sekitarnya. Dua tanaman ini adalah komoditas yang paling dicari-cari dalam perdagangan global dengan nilai komoditi yang sangat tinggi.

Eksperimen penemuan kretek kemudian dilanjutkan oleh seseorang jenius lainnya yang mengembangkan kretek dengan merevolusinya dari barang konsumsi biasa menjadi sebuah komoditas dagang. Orang jenius tersebut adalah Nitisemito yang disebut sebagai ‘Sang Raja Kretek’. Dalam catatan Indrawan Sasongko yang termaktub di artikel “Penguasa Tidak Pernah Menjadikan Pengusaha sebagai Sarana Kemakmuran” yang dihimpun dalam buku Seribu Tahun Nusantara (2000), oleh cucu-cucunya disebut sebagai pencetus ide kewirausahaan untuk menjadikan kretek sebagai komoditas industri.

Rekam jejak ‘Sang Raja Kretek’ berawal dari usaha kecil-kecilan pembuatan kretek yang ia kerjakan sendiri pada tahun 1910. Usaha ini terus berkembang hingga kretek menjadi barang konsumsi yang populer di kalangan masyarakat nusantara. Merek dagang kretek fenomenal yang ia besarkan kala itu adalah Bal Tiga dengan masa kejayaan bisnisnya antara tahun 1922 hingga 1940.

Industri yang dibangun oleh Sang Raja Kretek ini menjadi sebuah oase di tengah-tengah kondisi memprihatinkan masyarakat Nusantara yang kala itu masih dalam bayang-bayang kolonialisme. Bayangkan saja pada tahun 1934 pabriknya dapat mempekerjakan 10 ribu buruh yang berlokasi di daerah Jati, Kudus dengan produksi rata-rata setiap harinya mencapai 8 juta batang. Pada masa itu Kudus menjadi salah satu daerah dengan roda perekonomian yang berputar sangat dahsyat.

Apa yang dibangun oleh Sang Raja Kretek menstimulus pengusaha lokal lainnya, tercatat pada tahun 1924 muncul 35 pengrajin kretek. Empat tahun kemudian jumlah pengrajin sudah tumbuh menjadi 50 perusahaan. Pada tahun 1933 tercatat industri ini berkembang semakin pesat tumbuh menjadi 269 pengrajin kretek.

Dalam buku Kretek Djawa yang ditulis oleh almarhum Rudy Badil menyebutkan, pada 1931 produksi rokok putih mencapai 7.100.000.000 batang per tahun. Sedang produksi rokok kretek 6.422.500.000 batang. Artinya perkembangan industri kretek sangat luar biasa, hampir mengalahkan produksi rokok putih yang sudah menguasai perdagangan rokok di dunia selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Melihat perkembangan industri kretek, pemerintah kolonial mengambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan asli ini dengan dalih kebijakan perlindungan industri rakyat, namun dibaliknya lagi-lagi adalah perkara penarikan pajak. Pemerintah kolonial mengeluarkan Staadsblad Nomor 427 Tahun 1935 yang  berisikan pengaturan tentang pita cukai, bea ekspor dan bea masuk impor, termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai tersebut. Kretek pun dianggap sebagai komoditas unggulan dan penyerap tenaga kerja, serta menyumbang cukai untuk kas pemerintahan kolonial.

Kretek kini menjadi industri strategis yang menopang perekonomian negara. Penerimaan negara yang disumbangkan dari sektor cukai sejak era kemerdekaan hingga sekarang menyumbang 9 sampai 11 persen dari total keseluruhan penerimaan negara. Dan setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan jumlah sumbangannya.

Tak hanya menyoal penerimaan negara, kretek juga menjelma menjadi suatu konsep yang mencerminkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Mulai dari optimalisasi daya guna lokal dari hulu ke hilir. Di hulu pertanian, tembakau dan cengkeh ditanam oleh petani di dalam negeri dengan kepemilikan lahan 97 persen merupakan perkebunan rakyat. Proses produksi mayoritas diisi oleh pabrikan skala Industri Kecil Menengah (IKM) dengan serapan tenaga kerja yang besar. Adapun konsumsinya mayoritas dikonsumsi masyarakat dalam negeri. Hal ini merupakan konsep mata rantai produksi-perdagangan dan konsumsi yang ideal bagi sebuah industri nasional.

Sebagai penutup, Fredrich Hertz dalam bukunya “Nationality in History and Politics” bahwa setiap bangsa memiliki einginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing serta memiliki keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualisme, keaslian, atau kekhasan agar dapat menonjol (unggul) diantara bangsa-bangsa dalam mengejar kehormatan, pengaruh, dan prestise. Kretek yang telah merengkuh waktu panjang memiliki nilai-nilai yang sah sebagai sebuah Nationality in History and Politics bagi bangsa Indonesia.

 

Selamat Hari Kretek Nasional!!!