logo boleh merokok putih 2

Merokok, Danrem dan BAB

Sebagian kisah hidup para perokok mungkin jadi hal konyol yang kalau diingat beberapa tahun kemudian akan jadi cerita seru, memalukan, konyol atau membuat kita tertawa sendiri.

Anda pernah merokok di wc hotel hanya karena kamar hotel anda dilarang merokok dan ruangan merokok hotel cukup jauh dari kamar tempat anda menginap? dan hanya di toilet tersedia exhaust agar asap rokok tidak mengepul di dalam ruangan. Lebih konyol lagi kalau itu dilakukan pagi hari, saat ritual sakral harus dilakukan; BAB, Tentu harus dimulai juga dengan minum kopi, alhasil, kopi pun harus dinikmati di dalam kamar mandi. Pernah? Saya pernah, lebih konyol lagi saya pernah BAB di kamar mandi hotel sambil ngopi dan sebat. Bisa kebayang?

Saat SMA saya juga sering melipat rokok yang masih menyala ke bagian dalam tangan sehingga baranya mengarah ke telapak tangan saat seusai jam sekolah saya bertemu guru yang tidak sengaja sedang lewat di depan tongkrongan dan menyapa  sambil memperhatikan saya dan teman-teman sedang merokok atau tidak. Sesekali saya  menggoyangkan tangan agar asap rokok tidak muncul dan berharap tertiup angin sembari kikuk menanggapi sang guru yang malah asik mengajak kami ngobrol. Sebenarnya sang guru tahu kita menyembunyikan rokok, tapi kadang ada beberapa guru yang memahami bahwa usia murid-murid mereka memang usia yang bandel, harus dididik sekaligus juga perlu diberikan kelonggaran. Tidak semua, kalau ketemu guru yang galak, bisa kena ceramah cukup panjang atau malah lari keliling lapangan basket.

Lebih mundur lagi ke masa kecil, rasa penasaran seoeang anak berusia 9 tahun  yang ingin tahu apa itu rokok juga punya cerita sendiri. Bapak dan Ibu saya seorang perokok, Bapak saya seorang TNI dan sangat keras dengan peraturan, menurutnya saat itu, belum bisa menghasilkan uang maka jangan merokok. Titik. Sementara ibu saya santai-santai saja soal peraturan merokok kepada 2 orang kakak saya. Ibu saya pernah memergoki saya sedang berusaha menyalakan puntung rokok, saya kumpulkan 3-4 puntung rokok dari asbak di rumah dan coba saya nyalakan. Di jaman itu, saya tidak menemukan tutorial bagaimana menyalakan rokok, yang saya pelajari hanya cara mengisapnya saat melihat Bapak dan Ibu  atau orang-orang di sekitar saya sedang merokok. Sial, puntung rokok yang saya ambil dari asbak saat itu rasanya tidak karuan, antara rasa pahit, bau hangus bercampur bau lain yang asing buat saya. Ibu saya yang ternyata sudah memperhatikan sedari tadi menepuk pundak saya dari belakang dan berkata; “Nak, sudah bisa hidup?, jangan dibakar filternya nanti bibirnya hangus, dan itu tidak digigit atau dikunyah seperti permen, tapi ditempel saja di bibir”. “Tapi, Nak..” Lanjut Ibu saya,  “Kalau Mama lihat sekali lagi kamu mencoba merokok, maka jangan minta beli mainan, beli komik setiap sabtu-minggu atau beli es mambo lagi setiap pulang sekolah” tegasnya. Waktu itu, ancaman sederhana yang dikatakan Ibu saya sangat menakutkan untuk dihadapi. Seperti disodorkan amplop berisi selembar kertas SP 3. Belum lagi kalau kena ‘strap’ Ayah saya.

Di tahun yang sama dengan kisah puntung rokok tadi, saya merasa dunia sedikit aneh, Ayah saya seorang Danrem di salah satu kota di Indonesia Timur, Ibu saya juga kebetulan seorang ketua Persit Chandra Kirana. Kadang kalau saya sedang libur sekolah dan betepatan dengan acara di Korem, saya akan diajak, maklum, saya anak satu-satunya yang tinggal bersama Bapak dan Ibu, 2 kakak saya waktu itu sudah sekolah di Jawa.

Sehabis seremonial atau upacara di hari khusus, Ibu saya yang lebih dulu  klepas-klepus  mengisap rokok di sekitar lapangan Korem, sementara Bapak saya memilih untuk mengobrol dengan bawahannya tanpa mengisap rokok, saya bahkan belum pernah melihat Bapak merokok saat dinas di Korem.

Lalu saat Bapak dan Ibu saya sedang asik ‘chit-chat’ dan sebats, di mana saya saat itu? Ada di garasi truk Korem bersama ajudan Bapak saya. Kami bercanda, naik turun truk, dan saya ikut nimbrung obrolan yang saya juga tidak paham. Selain Ajudan Bapak, ada juga bawahan Bapak saya yang sedang bertugas saat itu, beberapa dari mereka merokok, dan garasi mobil Korem jadi seperti ruang merokok mereka.

Saya dengan label anak komandan akhirnya mrmberanikan diri mengambil sebatang rokok milik mereka dan mencoba membakarnya, saya dilarang tapi tidak saya gubris. Apes, Bapak sedang mencari saya untuk diajak pulang, bukan Ibu, tapi Bapak! Si komandan! 9 orang yang ada di garasi saat itu (tidak termasuk saya) langsung diperintahkan Bapak untuk hormat bendera selama 2 jam. Selesai dari situ mereka disuruh keliling komplek Korem untuk mencabut rumput, menyapu halaman, mengepel rumah, membersihkan WC  rumah dinas yang ada di komplek Korem. Karena Ajudan Bapak juga terkena hukuman, hari itu Bapak yang membawa mobil kami pulang. Bapak, Ibu dan saya ada di dalam mobil dengan situasi yang ‘krik-krik’ sekali. Selesai dari hormat bendera itu, sang Ajudan juga masih mendapat perlakuan khusus selama seminggu; push up setiap pagi tiap kali menjemput Bapak untuk berangkat kantor. Sementara saya kebagian hukuman tidak dibelikan mainan dan komik selama 2 bulan, tidak diajak mengunjungi kakak saya yang sedang sekolah di luar kota, dan harus baca buku pelajaran selam 2 jam setiap hari, selama 2 bulan. Setiap kali melihat saya sedikit bersedih karena hukuman dari Bapak, Ibu hanya menyemangati; “sabar, tinggal sebentar lagi bisa beli komik dan mainan”. Yang bisa saya lakukan saat itu hanya menahan tangis dan membayangkan wajah Bapak yang galak dengan mata melotot. Sebagai balas dendam, seringkali tiap Bapak dibuatkan  kopi susu oleh Ibu saya,  saya diam-diam meminumnya, begitu Bapak keluar kamar setelah tidur siang dia hanya geleng-geleng kepala melihat gelas kopi susunya tinggal sisa ampas kopi.

Punya cerita yang bikin geli saat merokok? Saya yakin anda punya banyak cerita yang lebih konyol. Kirim dong ke bolehmerokok.com.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Khoirul Siregar

Khoirul Siregar

Lelaki yang Mencintai Banyak Hal