logo boleh merokok putih 2

Soal Kenaikan Cukai Rokok, Silat Lidah Pemerintah Memang Tiada Tandingannya

Perguruan silat mungkin lebih lihai memainkan jurus-jurus persilatan yang diajarkan oleh perguruannya, tapi soal silat lidah, pemerintahlah juaranya.

Pertengahan September lalu, Kemenperin mengusulkan pajak baru dibuat nol persen hingga Desember 2020. Alasannya tentu saja, untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Wajar kalo Kemenperin mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru tersebut, sementara cukai rokok, bau-baunya, akan melejit tahun depan.

Lha mau gimana lagi, mobil tidak berpolusi, sementara rokok bisa bikin mati. Mobil tidak bergambar seram, sementara rokok ditempeli gambar orang dengan tenggorokan berlubang. Perusahaan mobil mempekerjakan banyak orang, sementara pabrik rokok cuma jutaan orang yang “dianggap” penyakitan.

Sudah benar usul Kemenperin itu. Di masa pandemi seperti ini, masyarakat harus banyak bergerak, datang ke tempat-tempat pariwisata dengan mobil baru tanpa pajak. Biar ndak stres kayak perokok. Masa pandemi kok malah di rumah aja, ngopi, ngerokok, ngopi, ngrokok. Hambuk beli mobil, terus jalan-jalan.

Usulan ini dikritisi oleh Ekonom dari Center of Reform on Economic (Core), Mohammad Faisal. Bagi Faisal, kebijakan ini tidak menguntungkan semua pihak, padahal semestinya segala stimulus di era pandemi dirasakan setiap orang. 

Dari puncak gunung pun sebenarnya kita tetap bisa melihat, bahwa kebijakan ini hanya akan dinikmati oleh kalangan atas. Kalangan bawah, ya silahkan siapkan jari untuk digigit.

Bagaimana dengan cukai rokok? Jelas pemerintah juga pernah melakukan hal serupa, tapi tidak sama. Cukai rokok pernah tidak naik pada tahun 2019. Tidak naik, berarti masih menggunakan itung-itungan cukai rokok pada tahun 2018. Itu saja kita paham, cukai tidak naik waktu itu karena Jokowi sedang berkontestasi di Pilpres 2019.

Terbukti, akhir tahun 2019, tepat di tengah hingar bingar panen raya tembakau,  Sri Mulyani mengumumkan kenaikan cukai rokok 23% dengan kenaikan HJE 35%. Artinya, cukai tak naik pada 2019 adalah omong kosong belaka.

Bagaimana dengan 2021? Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengungkap, tahun ini Indonesia menghadapi tantangan cukup berat. Fokus kemenkeu pada bagaimana memulihkan perekonomian. 

Mengerucut pada persoalan cukai rokok, dengan tegas dan percaya diri Febrio mengatakan jika kenaikan cukai rokok bukan pada penerimaan negara, tetapi dalam konteks menurunkan prevalensi anak dan remaja merokok. 

Kita harus mencoba lapang dada dengan statemen yang saling berbenturan ini. Awalnya mengakui keuangan negara sedang tidak baik-baik saja, selanjutnya dibumbui untuk menekan prevalensi anak-anak atau remaja merokok. 

Febrio tampaknya ingin meyakin publik, bahwa selama ini kemenkeu menaikkan cukai bukan semata karena negara sangat membutuhkan uang instan dari cukai rokok, melainkan ada nilai-nilai kemanusiaan yang mendasarinya. 

Sebuah bualan yang hampir sempurna. Seperti manipulasi bambu pethuk yang sangat rapi, tapi tetap gagal membohongi publik di tangan Bang Paul Hendrawan. Persilatan lidah macam ini tidak salah, hanya saja menjijikkan. Pemerintah seharusnya tidak perlu berkata naif, tinggal akui saja kalau dari Industri Hasil Tembakau keuangan negara terbantu.

Sekelas BUMN pun, yang sebenarnya memiliki sektor industri lebih besar ketimbang IHT, pajaknya tak lebih besar dibanding IHT. Seharusnya, sejak lama, pemerintah punya pemahaman, bahwa segala kebijakannya adalah bentuk perlindungan terhadap segala yang memberi kehidupan dan penghidupan kepada seluruh elemen rakyat Indonesia. 

Memang kita harus menyepakati, soal silat lidah, pesilat asli pun bukan lawan tanding jika berhadapan dengan pemerintah. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Ibil S Widodo

Ibil S Widodo

Manusia bodoh yang tak kunjung pandai